Thursday, May 3, 2012

Menggugat Keberadaan RSBI / SBI



Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini bertemakan “Menuju Generasi Emas”.  Tema yang sangat menjanjikan di tengah bertumpuknya persoalan yang mendera bangsa ini.  Mulai persoalan politik, masalah hukum, tindakan kriminal, ekonomi, sosial, korupsi yang tak berkesudahan, dan tentunya masalah pendidikan itu sendiri.  Persoalan pendidikan yang sempat terdengar riuh rendah pada akhir-akhir ini adalah masalah “istri simpanan” dalam Kisah Bang Maman dari Kali Pasir dan polemik seputar keberadaan RSBI / SBI.

Polemik tentang perlu tidaknya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) / Sekolah Berstandar Internasional (SBI) mengemuka saat para orang tua murid dan aktivis pendidikan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konsitusi tentang aturan yang mengatur RSBI / SBI tersebut. Sebagaimana diketahui, sejumlah orang tua dan aktivis pendidikan mempersoalkan pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal.  (Apakah pendidikan yang bermutu harus selalu mahal? Pertanyaan simpelnya mungkin seperti itu).

Sebelum melangkah lebih jauh, baiknya kita tengok dulu akar masalahnya.  Masalah pertama ada pada pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang bunyinya sebagai berikut: “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional.  Masalah kedua terletak pada adanya diskriminatif yang dirasakan oleh sejumlah orang tua ketika ingin memasukan anaknya ke RSBI / SBI.

Menyimak bunyi pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas di atas kita akan berkesimpulan bahwa RSBI / SBI itu harus ada, karena keberadaannya telah diamanatkan oleh Undang-Undang.  Lalu kenapa kemudian digugat? Karena implementasi dari pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas dalam prakteknya berbenturan dengan UU No. 24/2009 pasal 29 ayat 1, 2 dan 3 serta UUD 1945 pasal 36. Benarkah demikian?

Implementasi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) / Sekolah Berstandar Internasional (SBI) diatur dalam Permendiknas No 79/2009 pasal 5 ayat 3,4 dan 5 yang berbunyi:
(3) SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu.


(4) Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan Muatan lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.


(5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya sebagaimana  dimaksud pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD.

Jelasnya, pasal 5 ayat 1, 2, dan 3 ini menginstruksikan penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dalam mata pelajaran tertentu dan itu dimulai dari kelas IV SD pada sekolah-sekolah berlabel RSBI / SBI.  Namun pada prakteknya, bahasa Inggris menjadi dominan sebagai bahasa pengantar dibandingkan bahasa Indonesia.  Inilah yang oleh sebagian ahli disebut melanggar konstitusi dan menghianati sejarah.

Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bertentangan dengan UU No. 24/2009 yang mengatur tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan. Menurut pasal 29 ayat 2  dari UU tersebut menyebutkan bahwa bahasa asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam satuan pendidikan untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.  Dengan demikian berdasarkan pasal 29 ayat 2 yang boleh menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan bahasa asing lain hanyalah pelajaran bahasa Inggris dan pelajaran bahasa asing yang lain. 

Benarkah hal ini juga bertentangan dengan UUD 1945 pasal 36?  Dalam tataran cita-cita dan tujuan pendirian SBI dirasakan sejalan dengan amanat pembukaan UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.  Namun dalam realita mahalnya “harga jual” sebuah kursi pada sekolah-sekolah yang berlabel RSBI / SBI terasa mencekik leher orang tua siswa. Sehingga mereka sulit untuk menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah tersebut. Kemudian perbedaan fasilitas serta tenaga pendidik antara sekolah umum dan sekolah berlabel RSBI/ SBI juga turut dikeluhkan orang tua. Hal inilah yang dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 36 yang menjamin setiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran.

Apakah masalah RSBI/SBI hanya sampai di sini? Ternyata masih ada lagi nih yang tak kalah serunya dari sisi ekonomi dirasakan berpotensi menguras keuangan negara. 

Menurut Satria Dharma, “SBI merupakan proyek prestisius, karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut. (Tolong dikalikan dengan RSBI/SBI yang jumlahnya mencapai 1.305 sekolah).  Tentunya sebuah angka yang cukup fantastis dan bukan tidak mungkin dijadikan lahan bagi-bagi “keuntungan”.

Bagaimana dengan mutu dan kualitas lulusannya? Hal ini yang menjadi tanda tanya besar.  Mengapa?

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini, siswa yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar tidak menunjukkan kualitas ilmu pengetahuan siswa. Sebab mutu pendidikan ditentukan banyak hal, sedangkan bahasa hanyalah alat pengantar saja. 
Mirisnya, menurut Asvi, Bahasa Inggris di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) diterapkan sebagai bahasa baku dalam peraturan tertulis.

Selain menumbuhkan kebanggan semu, penggunaan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dapat mengikis kecintaan dan semangat persatuan bangsa. Dia mengingatkan bahwa Indonesia bisa bersatu dengan Bahasa Indonesia sejak dideklarasikan pada Sumpah Pemuda 1928.

Akhirnya, apa sebenarnya yang diharapkan pemerintah dengan adanya RSBI / SBI ini? Semuanya berpulang kepada pemerintah selaku pengambil kebijakan. Tetapi ada baiknya pemerintah segera membenahi sistem dan kerangka dasar dari kebijakan ini.  Kalau tidak RSBI akan menjadi Rintisan Sekolah Berbahasa Inggris dan SBI akan menjadi Sekolah Berbahasa Inggris. Ditengah pujian dan kritikan, kita semua berharap kebijakan ini akan melahirkan “generasi emas pada waktunya”. 

Selamat merayakan Hari Pendidikan Nasional bagi kalangan guru, pemerhati, aktivis dan penggagas pendidikan di seantero tanah air.

No comments:

Post a Comment