Saturday, May 26, 2012

Politik dan Masa Depan Pendidikan

Tulisan :  Iginatius K. Lautloly (dimuat dalam website moluken.com edisi Sabtu, 26 Mei 2012)
            
Politik adalah pertarungan preferensi, yang berarti juga ambisi. Di dalam situasi demikian, tiap klaim kehendak umum harus dicurigai sebagai bentukan ambisi. Karena itu, demokrasi harus menjamin agar satu ambisi diperiksa dan diseimbangkan oleh ambisi lain (ambition checked by other ambition).


Demokrasi tidak berfokus pada kehendak umum, tetapi kerja sama politik. Apakah dalam bidang pendidikan dapat terganggu juga?. Bahkan jangan sampai di kalangan intelektual pendidikan pun dapat menjagokan salah satu figure kepemimpinan dalam proses politik. Hegomoni dan karakter seorang intelektual pendidikan dalam proses mendidik, membimbing, memimpin, dan yang terlebih lagi menjadi contoh pada generasi mendatang apakah mampu melaksanakan tugasnya dengan baik atau tidak.

Sedangkan salah satu tujuan penyelenggraan pendidikan ialah untuk membentuk sikap moral dan watak peserta didik serta masyarakat yang berbudi luhur. Sebagai langkah konkritnya, rakyat diharapkan memiliki kemampuan untuk memposisikan diri sebagai aktor sosial (social agents) yang kritis, rasional, aktif, kreatif dan produktif dalam melahirkan berbagai alternatif guna keluar dari sistem hegemonik dan sekaligus melakukan counter-culture terhadap setiap kemapanan dan ketidakadilan. Untuk itu,

hendaknya mereka berani melakukan pembacaan kritis dan pembongkaran terhadap segala realitas hegemonik tersebut.

Di era globalisasi menuntut kesiapan kita lebih matang dalam segala hal. Bidang pendidikan merupakan salah satu andalan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman itu. Persiapan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dilakukan sejak dari masa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Adanya persiapan sedini mungkin diharapkan akan memberikan kualitas peserta didik yang lebih baik. Intelektual pendidikan dalam hal ini guru dan tenaga kependidikan haruslah menjadi patokan bagi masyarakat social dalam pengembangan tugas profesinya.

Dari permasalahan politik di atas, sesungguhnya bagi seorang intelektual pendidikan haruslah memberikan suatu kontribusi pikir kepada masyarakat sipil untuk menjadikan demokrasi di daerah ini sebagai demokrasi yang bermoral, berwibawa, dan demokrasi yang berdasarkan Pancasila.

Kalau kita lihat dari pada permasalahan pendidikan yang ada sekarang apakah seorang intelektual pendidikan harus memposisikan dirinya sebagai agen politik. Jangan sampai terjadi pada lingkungan sekolah serta masyarakat pun kaum-kaum intelektual pendidikan sudah memainkan perannya untuk menjagokan salah satu kandidit?. Lebih buruknya lagi bila terjadi konflik diantara para intelektual pendidikan untuk mencapai kepentingan-kepentingan di kemudian hari. Masalah-masalah ini yang akan membuat seorang intelektual pendidikan kehabisan moral dan etika dalam jabatan profesinya sebagai tenaga pendidik melainkan sebagai pemain-pemain politik.

Dikhawatirkan juga, bahwa seorang tenaga pendidik dan tenaga kependidikan sebagai mediator antara masyarakat sipil (civil society) dengan para kandidat dengan wajah tak kelihatan. Ini akan menjadi sangat fatal dengan dunia pendidikan! Semoga, dengan harapan bahwa para intelektual pendidikan di daerah ini tidak menjadi pemain-pemain politik siluman tetapi menjadi actor pendidikan yang profesional dan tangguh. 


No comments:

Post a Comment