Thursday, May 17, 2012

Pemerintah Harus Bubarkan RSBI

JAKARTA-Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang lanjutan Uji Materi UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Saksi ahli Daoed Joesoef dengan tegas menyatakan, pemerintah harus segera meniadakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI atau SBI). Sebab, sistem pembelajaran yang diterapkan di RSBI ataupun SBI secara terang-terangan melanggar konstitusi, yakni terkait penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pengantar formal dalam pembelajaran disekolah tersebut.

’’Pelanggaran konstitusi dimaksud adalah mengacu pada Pasal 36 UUD 1945 yang berbunyi, "Bahasa negara adalah bahasa Indonesia". Walaupun pada pasal itu tidak mengatur secara eksplisit menyebut bahasa nasional harus dijadikan bahasa pengantar dalam lembaga pendidikan. Tetapi, terdapat pasal yang menjelaskan bahwa Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan Undang-Undang. Hal itu diatur dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945,’’ tegas Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu dihadapan majelis hakim konstitusi, di gedung MK, kemarin (15/5)

Selain melanggar konstitusi, lanjut Doed, diberlakukannya bahasa asing (Bahasa Inggris) sebagai bahasa pengantar dalam pembelajaran, juga membuat anak didik menjadi terbebani dengan masalah baru. Ia mencontohkan, siswa diharuskan memahami sengan dengan baik setiap pelajaran yang diterima, terutama pelajaran eksakta seperti matematika, fisika dan kimia yang berhubungan dengan berhitung.

"Padahal dalam upaya pemahaman, peserta didik harus berani bertanya kepada tenaga pengajar untuk mendapatkan pemahaman. Tapi karena bahasa inggris bukanlah bahasa sehari-hari, maka siswa akan menjadi kesulitan untuk mendapatkan pemahaman. Setidaknya, itulah salah satu masalah baru bagi siswa RSBI atau SBI,” papar mantan Mendikbud periode 1978 – 1983 itu.

Saksi pemohon, Musni Umar mengatakan, pihaknya selain menyalahi konstitusi, RSBI pada tataran implementasinya masih menerapkan beban anggaran kepada siswa didik." RSBI memberlakukan sumbangan peserta didik baru (SPDB) dan sumbangan rutin bulanan (SRB), sebesar Rp 11,200 juta dan Rp 455 ribu untuk kelas reguler. Ini yang terjadi di SMAN 70," ungkap mantan Ketua Komisi SMAN 70 Jakarta itu.

Menurutnya, pembebanan tersebut merupakan bentuk yang tidak lazim. Sebab, RSBI sejatinya merupakan program pemerintah. Bahkan, pembebanan tersebut semakin diperburuk dengan kewajiban orang tua siswa membayar honor kepala sekolah, guru, dan karyawan PNS setiap pertengahan bulan dan tunjangan hari raya.

“Sebenarnya, kegiatan yang dilakukan tersebut tidak ada dasar hukumnya. Ini hanya bentuk lain dari kastanisasi RSBI dan non RSBI. Termasuk pembebanannya tersebut juga merupakan bukti RSBI telah menjadi sarana komersialisasi pendidikan yang sangat menyedihkan dan menyengsarakan orang tua siswa yang tidak mampu," beber dosen Fakultas Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Suyanto mengatakan, sebenarnya fokus uji materi UU Sisdiknas itu lebi kepada substansi pasalnya, bukan hanya berkutat pada persoalan praksis atau pembahasan implementasi adanya RSBI saja.

"Kalau hanay memperdebatkan prakteknya, tanpa menjelaskan detail pelanggraan atas norma UUD 1945, kami yakin Majelis tidak akan berpengaruh terhadap gugatan tersebut," ujarnya, ditemui usai persidangan itu.

Suyanto menjelaskan, saat ini hanya sebanyak 1.300 RSBI di seluruh Indonesia. Jumlah tersebut hanya 0,65 persen dari seluruh sekolah yang ada. Karena itu, pihaknya mempertanyakan perihal tuntutan akan keadilan dari jumlah tersebut yang dimaksud pemohon. "Saya kira keadilan sudah diletakkan dalam prinsip penyelenggaraan RSBI atau SBI," tegasnya.

Pengujian Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas itu dimohonkan sejumlah orang tua murid dan aktivis pendidikan yang mengaku tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI atau SBI ini lantaran mahalnya biaya yang harus dikeluarkan wali murid. Mereka adalah Andi Akbar Fitriyadi, Nadia Masykuria, Milang Tauhida (orang tua murid), Juwono, Lodewijk F Paat, Bambang Wisudo, Febri Antoni Arif (aktivis pendidikan).

Mereka menilai, pasal yang mengatur penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf internasional itu diskriminatif. Sebab, keberadaan pasal itu menimbulkan praktek perlakuan yang berbeda antara sekolah umum dan RSBI atau SBI. Misalnya, dalam sekolah umum fasilitasnya minim dan guru-gurunya kurang memenuhi kualifikasi. Sementara di sekolah RSBI fasilitas lengkap dan guru-gurunya berkualitas.

Jika pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas tetap dipertahankan potensi pembatasan akses hak warga negara untuk mengenyam kualitas pendidikan yang baik akan terus dilanggar. Para pemohon meminta MK membatalkan Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena bertentangan dengan Pasal 28C ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 32 ayat (1), (2), (3), Pasal 36 UUD 1945.

Dalam tuntutan provisi, pemohon juga meminta MK untuk memerintahkan pemerintah untuk menunda operasional RSBI/SBI di seluruh Indonesia dan menghentikan anggaran subsidi RSBI sampai adanya putusan perkara ini.(ris)


No comments:

Post a Comment