Monday, May 14, 2012

Opera Pendidikan dalam UN

Oleh: Elias Situmorang
Penulis adalah Pastor dari Ordo Kapusin, Bertugas di Salah Satu Paroki di Tanah Karo, Sumatera Utara.

Uji petik psikologis menunjukkan, 79,1 persen siswa sekolah menengah atas peserta ujian nasional cemas menghadapi ujian ini.

Menanggapi itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, kecemasan siswa wajar dan justru bagus kalau bisa mendongkrak semangat belajar siswa.


Mendikbud tidak salah. Namun, kenyataannya dalam praktik pelaksanaan ujian nasional (UN) para peserta bukan hanya cemas. Mereka bahkan ada yang tak peduli dan apatis. Ini karena sejak awal peserta didik dipaksa dan diarahkan terus-menerus agar memperoleh nilai bagus dan lulus.

Anak kehilangan makna dan tujuan pendidikan: membuat dirinya bangga dan berharga sebagai manusia. Falsafah pendidikan klasik non scholae sed vitae discimus (kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk hidup) seakan tak punya makna dan arti lagi. Setiap guru bersama pengayom pendidikan lain hanya mengarahkan siswa agar lulus. Dapat ditebak bahwa hasilnya adalah siswa memang mendapat nilai bagus di atas kertas, tetapi miskin kualitas praktik kehidupan dan karakter.

Opera dalam UN

Maka, terjadilah opera saat pelaksanaan UN. Dalam opera permainan diatur dan dilatih sedemikian rupa agar kisahnya yang berkaitan dengan kehidupan nyata bisa mengundang kekaguman penonton. Dalam pertemuan formal dengan beberapa kepala sekolah di Sumatera Utara, mereka mengaku dipaksa mengikuti segala upaya untuk menekan angka ketidaklulusan.

Opera pelaksanaan UN dimulai dengan skenario: para kepala sekolah dikumpulkan oleh oknum dari dinas pendidikan. Mereka mendapat pengarahan yang sangat jelas mengenai kerja sama antarguru pengawas dari sekolah yang satu ke sekolah yang lain. Hasilnya, saat pelaksanaan UN semua guru yang menjadi pengawas tampil dengan wajah seram.

Di setiap sudut sekolah dan ruangan terpampang tulisan: ”Yang tidak berkepentingan dilarang masuk. Tertanda BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan)”. Formalitas semakin hebat dengan hadirnya polisi di tempat ujian diselenggarakan. Setiap lembar soal dan jawaban dikawal polisi sampai ke ibu kota kabupaten dan dari sana dikawal ke tempat pemeriksaan akhir.

Aneh dan sangat memalukan bahwa ujian akhir untuk tingkat SMP dan SMA saja harus dijaga polisi. Kehadiran polisi saat UN bagi saya adalah bentuk penghinaan kepada guru dan dinas pendidikan. Kehadiran polisi pada pelaksanaan UN jelas menunjukkan bahwa guru dan para pengayom di dinas pendidikan tak dapat lagi dipercaya. Kalau guru dan mereka yang terlibat dalam urusan pendidikan tidak dapat lagi dipercaya, mau dibawa ke mana bangsa ini?

Opera ini makin menakjubkan pada hari-H pelaksanaan ujian. Sang sutradara memantau dengan sangat ketat dan sistematis. Para kepala sekolah dan guru yang menjadi pemain lapangan menjalankan tugas dengan sangat cermat. Para peserta UN sebagai obyek dan sekaligus pemain tinggal ternganga, diam tak bersuara, karena mereka bagian yang ”diuntungkan”.

Dalam keheningan pelan-pelan kertas jawaban dibagikan. Dari 50 soal, yang sudah diberi jawaban 38 hingga 40. Maka, dapat ditebak bahwa tanpa menjawab soal yang 10 lagi, peserta UN sudah pasti lulus dengan nilai tinggi. Kalau jawaban ini bisa sampai kepada para peserta ujian, pasti karena sudah ada permainan yang ditata rapi.

Sayang, opera pendidikan dalam UN ini sepi penonton. Mungkin karena mereka sudah sangat bosan dan tak ada artinya lagi mengkritik. Toh, pemerintah akan berargumentasi secara logis dan terang-benderang. Maklum mereka rata-rata berlatar belakang pendidikan master, doktor, dan profesor. Bahkan, Jusuf Kalla, mantan orang nomor dua di republik ini dan tergolong orang pintar, ikut membela UN.

Bila kita berpikir secara jernih, UN dengan materi untuk ukuran anak yang sekolah di kota besar dan pendidik profesional sangatlah tidak seimbang untuk siswa yang tinggal di pelosok dengan fasilitas sederhana dan guru yang biasa pula. Seharusnya pemerintah membagi soal ujian dalam tiga kategori, yakni untuk kota besar/metropolitan, kota kecil, dan daerah terpencil.

Substansi pendidikan

Pendidikan itu suci. Ia memiliki kuasa sakramental dalam rahimnya. Ia mampu menyentuh sisi terdalam kehidupan manusia dan mentransformasikannya. Dosa utama dari institusi pendidikan adalah mengaborsi pendidikan dari rahim pendidikan.

Sekularisasi dan fragmentasi hidup postmodern sepintas menyamakan pendidikan dan persekolah, padahal hakikat pendidikan itu berbeda dengan persekolahan. Pendidikan adalah substansi dan isi pengetahuan, sementara persekolahan adalah sistem, sarana, dan gedung.

Cukup sering sarana memberikan bantuan. Namun, dalam beberapa dekade ini, dalam banyak kasus, sekolah dengan segala persyaratannya: sepatu, buku, administrasi, uang gedung, ijazah, dan masih banyak aksesori lain yang lebih banyak mengganggu pendidikan daripada membantu (Sindhunata, ”Angsa yang Kesepian” dalam majalah Basis, Juli-Agustus 2007).

Pendidikan yang berkualitas digapai dengan kemampuan membangun dialog yang sehat dan benar antara pemangku pendidikan, guru, dan peserta didik. Peter C Hodgson, seorang teolog dan sekaligus ahli pendidikan, menawarkan pendidikan yang mengedepankan dialog dan bukan monolog.

Ia menolak cara-cara otoriter dalam pendidikan. Dalam pandangan Hodgson, pendidikan harus menyingkapkan kebenaran dan menyelamatkan umat manusia dari kesesatan (the darkness of error) dan berhala (idolatry) dengan menebus budi, tetapi tidak menggusurnya.

Kejahatan yang disebabkan oleh akal budi perlu diterangi. Semua ini membutuhkan adanya kerja sama. Kerja sama dan solidaritas menjadi inti pendidikan. Untuk itu, pendidikan perlu terus-menerus menerapkan prinsip 3C: competency, compassion, conscience.

Competency artinya punya kemampuan yang dapat diandalkan dan berdaya guna karena memiliki pengetahuan. Compassion artinya peserta didik dilatih untuk berempati kepada orang lain. Conscience artinya memiliki kesadaran moral otonom.

Keberhasilan menanamkan prinsip tiga C dalam pendidikan pada akhirnya akan melahirkan dan menciptakan anak didik yang memiliki ilmu pengetahuan dan sekaligus berkarakter.

Kita mengharapkan setiap anak didik yang dididik di lembaga pendidikan resmi tumbuh menjadi manusia berkarakter, dalam arti memiliki kepribadian yang tangguh. Agar berkarakter, setiap anak didik perlu didorong untuk disiplin, dikondisikan untuk tidak mencontek, bermental juara tetapi bukan harus juara dan bahkan jiwa seni mereka pun dikembangkan.

Pendidikan karakter ini juga bertujuan untuk memberikan visi etis kepada peserta didik. Pendidikan yang mengabaikan pembentukan visi etis dikhawatirkan hanya akan menjadi proses pemindahan pengetahuan yang tidak berakar pada nilai-nilai kemanusiaan.

Sumber : http://edukasi.kompas.com

No comments:

Post a Comment