Tuesday, June 5, 2012

Menelusuri Tempat Wisata Wakatobi


Surgaisme pada Setitik Panorama Bawah Laut Wakatobi
Laporan: M DJUFRI RACHIM, Wakatobi

Segerombol ikan-ikan beraneka ragam bentuk dan warna “berlari-lari” naik turun mengitari sebuah terumbu karang. Di antara ikan-ikan itu ada yang segera masuk lubang batu karang, di bagian lain dari karang berbeda, keluar seekor ular laut berwarna hitam putih bak zebra dengan panjang kurang lebih 25 cm. Di sisi terumbu karang lainnya lagi tampak helaian menyerupai kain beludru warna merah bata melambai-lambai karena didorong arus laut yang tidak begitu dalam.  Semua itu bisa disaksikan dengan terang benderang, ketika Anda melakukan selam dangkal (skin diving) atau snorkeling di perairan Pantai Cemara, Pulau Wangiwangi, Wakatobi.

Semakin lama waktu melakukan snorkeling (selam dangkal) tentu akan semakin banyak pula menyaksikan bentuk dan warna-warni batu karang berikut biota penghuninya. Dan sepanjang itulah Anda akan terbius oleh keindahan alam bawah laut Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Nama Wakatobi diambil dari empat pulau utama, yaitu Wangiwangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.  Wangiwangi adalah ibukota kabupaten itu.

PANTAI CEMARA WAKATOBI       
Saya sendiri baru kali ini, Sabtu (2/6/2012), mencoba snorkeling. Saya berani melakukannya karena tidak sendirian sebagai pemula, melainkan ada kawan-kawan relasi Kendari Pos dari Jakarta dan Surabaya. Hanya sekitar dua jam kami berendam menikmati setitik panorama keindahan bawa laut Wakatobi, namun sudah bisa berkesimpulan bahwa surga dunia ada di bawah laut Wakatobi.  “Luar biasa, ternyata memang sangat indah melihat bawah laut Wakatobi. Tidak salah disebut surga bawah laut,” teriak Haerulloh dari Sharp Jakarta ketika mendongakan kepala ke permukaan laut, usai menyelam.
         
Itu bukan pujian pertama. Sebelumnya pujian serupa sudah bertubi-tubi dari para penyelam lainnya. Sebutlah Jacques Costeau, seorang jurnalis selam dunia yang mengakui Wakatobi sebagai tempat menyelam paling indah di dunia. Alasannya tentu karena di perairan Wakatobi terdapat 750 dari total 850 spesies koral yang ada di dunia, dengan konfigurasi kedalaman datar dan melandai. Topografi bawah lautnya berwarna-warni seperti bentuk slop, flat, drop-off, atoll dan underwater cave. Di beberapa daerah perairan terdapat tubir curam. Bagian terdalam perairannya mencapai 1.044 meter.
         
Di situlah aneka jenis karang indah dapat ditemui dengan mudah, seperti famili Acropora formosa, A. Hyacinthus, Psammocora profundasafla, Pavona cactus, Leptoseris yabei, Fungia molucensis, Lobophyllia robusta, Merulina ampliata, Platygyra versifora, Euphyllia glabrescens, Tubastraea frondes, Stylophora pistillata, Sarcophyton throchelliophorum, dan Sinularia spp.
         
Di samping keindahan beraneka ragam terumbu karang, Taman Nasional Wakatobi juga memiliki 93 jenis ikan konsumsi perdagangan dan ikan hias diantaranya; argus bintik (Cephalopholus argus), takhasang (Naso unicornis), pogo-pogo (Balistoides viridescens), ikan napoleon (Cheilinus undulatus), ikan merah (Lutjanus biguttatus), baronang (Siganus guttatus), Amphiprion melanopus, Chaetodon speculum, Chelmon rostratus, Heniochus acuminatus, Lutjanus monostigma, dan Caesio caerularea.
         
Beberapa jenis burung laut juga terdapat di sana, seperti Angsa-Batu Coklat (Sula leucogaster plotus), Cerek Melayu (Charadrius peronii) dan Raja Udang Erasia (Alcedo atthis) bersarang. Beberapa jenis penyu juga menjadikan taman ini sebagai rumah mereka seperti penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta caretta), dan penyu lekang (Lepidochelys olivacea).
         
Wakatobi tidak hanya menyuguhkan keindahan bawah lautnya. Namun di darat juga bisa menemui berbagai tempat yang tak kalah indahnya. Sebutlah benteng tua Liya Togo. Di dalam benteng seluas kurang lebih 30 hektare itu, terdapat masjid tua bernama Masjid Liya Togo. Bangunannya mirip dengan konstruksi bangunan Masjid Keraton Buton yang ada di Kota Baubau, yakni dinding masjid tersusun dari batu gunung dengan menggunakan perekat dari adonan kapur dicampur putih telur ayam. Seperti halnya Benteng Keraton Buton, Benteng Liya Togo juga terdapat sejumlah pintu atau dikenal dengan nama Lawa.


Penulis berdiri di pintu gerbang Masjid Liya Togo
Wilayah Liya Togo merupakan pusat penyebaran Agama Islam pertama di wilayah Kepulauan Tukang Besi. Sebelum 18 Desember 2003, Wakatobi disebut Kepulauan Tukang Besi dan masih merupakan bagian dari Kabupaten Buton. Masjid di Liya Togo pertama kali dibangun oleh serombongan saudagar berjumlah 18 orang asal Persia yang terdampar di pulau Wangiwangi pada tahun 1234 Masehi. Para saudagar ini terdampar akibat kapal dagang yang mereka tumpangi dari Persia hendak menuju Filiphina melalui selat Malaka dan selat Jawa menabrak karang di laut Jawa, dan kapal tersebut pecah. Pimpinan saudagar tersebut adalah Haji A. Muhammad. Kuburannya terdapat dalam gua yang tembus kedua belah mulutnya.
         
Ketika terdampar di Wangiwangi, para saudagar ini tinggal di sebuah gua yang cukup luas dan rata dengan pintu berbentuk pipih. Gua tersebut terletak di sumber air  Kohondao. Letaknya sekitar 800 meter dari Masjid Liya Togo. Di gua ini bisa dijumpai artifak berupa meja, piring, gelas,  lesung, bantal dan alat-alat dapur lain yang terbuat dari batu.
         
Kohondao hingga kini masih dijadikan sumber air bagi masyarakat sekitar, baik untuk keperluan mencuci maupun sumber air bersih (air minum). Di sana terdapat sejumlah kubangan air, yang telah di pila-pila sesuai peruntukannya, yakni sebagai tempat mandi laki-laki, tempat mandi perempuan, tempat mencuci, dan tempat mengambil air minum. Volume air di kubangan ini sesuai pasang surut air laut. Airnya tawar.  Untuk mencapainya harus menuruni 200 anak tangga yang telah disemen.
         
Tempat lain yang patut dikunjungi jika berada di Pulau Wangiwangi adalah perkampungan suku Bajo. Sekitar 550 kepala keluarga Bajo saat ini menempati Wangiwangi Selatan, yakni di Desa Mola Selatan dan Mola Utara. Mereka mendirikan rumah-rumah “tancap” di atas laut. Dalam tradisi Bajo, setiap rumah tancap dibangun di atas tumpukan batu karang, terutama di bagian sisi depan dan kiri rumah. Selain sebagai fondasi rumah, tumpukan batu karang itu berfungsi untuk menyimpan benda berharga. Semakin kaya si pemilik rumah, semakin banyak batu karang yang ditumpuk.
         
Tumpukan batu-batu karang itu kemudian membentuk lorong-lorong laut, mirip anak sungai, yang kemudian menjadi jalan raya penghubung bagi penghuninya. Mereka melewati lorong-lorong itu dengan perahu sampan. Kendati terdapat banyak sampah, air yang mengalir di lorong-lorong itu tetap jenrih, berwarna biru kehijau-hijauan.
         
Mereka menempati Kampung Mola sejak akhir tahun 1950-an saat terjadi pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Sejak itu seluruh bagian bawah rumah tancap warga Bajo Mola sudah tertutupi batu karang. Tanpa disadari, mereka telah ”mereklamasi” laut dengan batu karang.
         
Secara gradual pola hidup masyarakat Bajo di Mola mengalami modernisasi. Rumah tancap dari tiang-tiang kayu bakau beratap rumbia perlahan-lahan direnovasi menjadi rumah berdinding batu bata beratap seng. Aliran listrik dan pipa air bersih sudah masuk ke pemukiman. Sehingga lagu-lagu dangdut dapat mengalun dengan keras setiap saat, tidak kenal waktu.
         
Hidup masyarakat suku Bajo di Mola tidak lagi mengembara. Perahu sampan bukan lagi satu-satunya alat transportasi, melainkan sudah ada sejumlah sepeda motor yang bunyinya meraung-raung membela lorong-lorong perkampungan Mola. Hampir setiap rumah memiliki alat hiburan elektronik, seperti televisi, pemutar kaset, dan cakram optik.
         
Selain di Wangiwangi, suku Bajo di Wakatobi juga dapat dijumpai di Pulau Kaledupa, Tomia, dan Binongko. Selain masyarakat Bajo di Pulau Wangiwangi (Mola) yang terpengaruh budaya modern, juga masyarakat Bajo di Tomia (Lamanggau). Sementara Bajo di Kaledupa (Kampung Lohoa) tetap dipertahankan keasliannya.
         
Mengelilingi sejumlah tempat wisata di Wakatobi, baik yang ada di daratan Wangiwangi maupun di satu titik lautannya, rasa-rasanya Wakatobi bisa memenuhi hasrat harapan wisatawan, baik domestik maupun manca negara. Walaupun keindahan tempat wisata di darat belum sesurgawi pemandangan di bawah lautnya. Tetapi, "Kita telah mempunyai pilihan tempat wisata baru, selain Bali, yakni Wakatobi. Dan kami akan selalu kembali ke sini," kata Deny Baskoro, dari Inticom Surabaya. 
         
Saya sendiri agak menyesal, mengapa baru kali ini mencoba snorkeling, padahal kemampuan berenang di laut tidak meragukan berkat modal alami semasa kanak-kanak yang hidup di sebuah pulau yang juga tidak kalah indahnya (saat itu) dengan Wakatobi kini. ( fri@journalist.com)

Sumber : http://www.kendarinews.com


No comments:

Post a Comment