Thursday, August 2, 2012

Menyibak Catatan Sejarah "Rumphius" Tentang Tsunami di Maluku


Ambon : Lonceng – lonceng di Kastel Victoria di Leitimor, Ambon, berdentang sendiri. Orang berjatuhan ketika tanah bergerak naik turun seperti lautan. Tak lama kemudian air laut datang dengan suara bergemuruh. Demikian pengalaman catatan naturalis George Everhard Rumphius tentang gempa dahsyat disusul tsunami yang melasnda Pulau Ambon dan Saram pada 17 Februari 1674. Catatan itu di buat Rumphius pada 1675 dan jadi satu satunya naskah yang di terbitkannya semasa hidup.

Kastel Victoria di Leitimor itu kini ada dalam kompleks Benteng Victoria, Ambon. Lokasi benteng ini persis di seberang Kantor Gubernur Provinsi Maluku. Saat ini benteng itu di jadikan kompleks perkantoran dan perumahan Komando Daerah Militer XVI/Pattimura.

Catatan Rumphius itu sejauh ini merupakan dokumentasi lengkap tertua yang di buat tentang gempa dan air laut naik ( istilah tsunami belum di kenal saat itu) di Nusantara lebih kerap disebutkan dalam cerita lisan.

Awalnya, naskah ini di simpan di Perpustakaan Kerajaan Belanda di Den Haag dalam katagori anonim. Baru pada tahun 1817 di tetapkan bahwa laporan itu dibuat Rumphius. Pada tahun 1998, catatan itu di terbitkan kembali atas transkripsi W Buijze.

MJ Sirks PhD, professor genetika dari Universitas Groningen dalam tulisan Rumphius, the Blind Seer of Amboina menyatakan, Rumphius begitu terikat dengan Ambon karena selama hampir 50 tahun dia tinggal di sana dan mengalami tragedy sekaligus kebahagiaan dalam pekerjaannya.

PENYAKSI BUTA

Kisah perjalanan Rumphius memang penuh tragedy. Dia menghabiskan masa mudanya di Hanau, Jerman, tempat ayahnya, August Rumpf, menjadi arsitek terkenal. Namun itu tidak menghalangi ketertarikan Rumphius untuk menjadi petalang. Ia berharap untuk melihat dunia yang lebih besar dari Hanau. Rumphius pun meminta gurunya, Count Ludwig von Solm Grifenstein Braunfels, untuk di daftarkan sebagai tentara Republik Venesia.

Namun setelah naik ke kapal di Holand, bagian barat Belanda, ia sadar telah di tipu. Rumphius ternyata justru dimasukan menjadi tentara West Indies Company (WIC). Awalnya dia memang akan di kirim sebagai prajurit ke Venesia, namun kapal itu mengubah haluan dan membawa para prajurit itu ke Brazil.

Ditengah jalan, kapal Swarte Raef, yang membawa Rumphius, sdiserang kapal Portugis. Rumphius kemudian di bawa ke Portugis. Disana ia dan teman teman prajuritnya di latih untuk menjadi tentara Portugis.

Periode ini menjadi titik balik kehidupan Rumphius. Di Portugis, keinginan bertualangnya tersalurkan kea rah lain. Ia mendengar begitu banyak cerita luar biasa tentang dunia timur, dunia umbuhan yang aneh, dan hewan hewan asing yang juga aneh. Semua itu membuat keinginan Rumphius untuk menjelajah kian besar.

Setelah meninggalkan Portugis pada 1648 atau 1649, Rumphius kembali ke Hanau. Pada akhir 1652, ia mendaftarkan diri sebagai tentara East Indies Company (EIC). Pada juni 1653, dia pun mendarat di Batavia dan pada 8 November ia pergi ke pulau Ambon.

Menjadi  tentara ternyata tidak memuaskannya. Gubernur Ambon saat itu, Jacob Hustaerdt, kemudian memberinya tugas sipil. Pada 1662 Rumphius resmi menjadi pegawai perdagangan di perusahaan EIC.

Pada saat  itu juga Rumphius mulai mempelajari hewan dan tumbuhan di Ambon secara sistimatis. Selama bertahun tahun ia mendedikasikan waktu luangnya untuk belajar dan menulis tentang flora dan fauna Ambon.

Rumphius  kemudian menjadi pimpinan di Hitu, sebuah daerah dipesisir utara Jazirah Leihitu di bagian utara pulau Ambon. Di sana ia tinggal bersama keluarganya. Setelah di bebas tugaskan dari perusahan, Rumphius menemukan kebahagiaan dengan meneliti alam. Namun pada tahun 1770 Rumphius mengalami tragedi tragis. Dia kehilangan penglihatannya, tanpa ada penjelasan penyebabnya.

Kebutaan yang di alami tidak menghalanginya untuk melanjutkan penelitiannya tentang flora dan fauna Ambon. Dalam ilmu alam, Rumphius menghasilakan tiga kerja besar : Amboinsch Kruidboek, Amboinsch   Rariteitkamer, dan Amboinsch Dierboek.

Kruidboek  atau “ Herbarium Amboinense “ di pandang sebagai karya terbesar Rumphius. “ Diantara tulisan – tulisan itu ada tulisan Rumphius lain yang kurang penting. Akibatnya tuan tuan yang mulia, ia tidak terlalu merekomendasikannya.

Ada yang Amboinsche – Reriteitkamer, yang terdiri dari tiga buku, dan masih ada buku lain, Land Lugt-en Zeegedierten  dari kepulauan ini..” (dari surat gubernur Ambon ke Gubernur jenderal di Batavia pada 20 Mei 1679).

Pada 1679  dan 1980, Gubernur Ambon memberikan sistim yang bernama Daniel Crul untuk membentuk kerja Rumphius, anak Rumphius, Paulus Agustus, juga membantu, setidaknya dari 1686 Rumphius menghasilkan banyak sekali karya sehingga Gubernur Ambon Dirck de Haes menulis, “ Pekerjaan sepertinya telah selesai, dan saat ini 1.720 bab termasuk 12 buku.” Namun, tragedy rupanya tidak menjauh dari Rumphius. Dalam kebakaran besar di ambon, pada 11 januari 1670, buku koleksi, dan manuskrip Rumphius turut hancur. Untungnya sebagian buku utama bisa di selamatkan, namun gambar gambar yang di buat Rumphius sebelum tahun 1670 turut di makan api.

TRAGEDI TERBESAR

Bagi Rumphius, tragedi terbesar yang dialaminya terjadi pada tahun 1674, ketika gempa dan gelora tsunami melanda. Bukan hanya karena petaka itu menewaskan 2.322 orang di pulau Ambon dan Seram, tetapi juga menewaskan istri Rumphius dan salah satu anak perempuannya.

Hila di dekat Hitu, disebut Rumphius sebagai daerah yang paling menderita . “ Begitu gempa mulai menggoyang, seluruh garnisun kecuali beberapa orang yang terperangkap diatas ( benteng ), mundur ke lapangan di bawah benteng, menyangka mereka akan lebih aman. Akan tetapi, sayang sekali tidak seorangpun menduga bahwa air akan naik tiba tiba ke beranda benteng ( Amsterdam ),” tulis Rumphius.

Air itu sedemikian tinggi hingga melampaui atap rumah dan menyapuh bersih desa. Batuan koral terdampar jauh dari pantai. Sebanyak 1.461 orang tewas di Hila.

Sedangkan di Hitu, menurut Rumphius, air laut naik hingga setinggi 3 meter dan menyeret rumah – rumah kompeni. Sedikitnya 36 orang tewas. Dengan rinci Rumphius mengisahkan kondisi desa desa di Ambon dan Seram yang hancur akibat peristiwa itu. Sedikitnya ada 11 desa yang dideskripsikan Rumphius.

Desa desa itu terentang disepanjang pesisir utara Jazirah Leihitu, mulai dri Larike di ujung barat hingga Tial di ujung timur. Di pulau Seram yang tercatat adalah tempat tempat di daerah Huamual, seperti Tanjung Sial dan Luhu. Catatan lain juga dari Oma di selatan Pulau Haruku dan Pulau Nusa Laut.

Dalam khazanah mitigasi bencana, catatan Rumphius ini merupakan warisan penting karena memberi kesaksian bahwa Nusantara memiliki riwayat gempa dan tsunami yang sangat panjang. Jauh sebelum tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004, Rumphius telah menuliskan tentang bencana sejenis di bagian timur Nusantara.

Sayangnya, catatan rinci Rumphius itu tidak banyak di ketahui masyarakat Ambon dan Seram. Nama Rumphius bahkan tidak begitu di kenal. “ Tidak banyak yang tahu tsunami yang katanya di catat Rumphuis. Kalau gempa disini memang sering terasa, tapi masyarakat tidak lari ke bukit, malah diam di tempat,” kata Damri Lating (49) warga hila.

Hal senada di ungkapkan Said Lumaela (52), warga Kaitetu, desa yang bersebelahan dengan Hila. “ Pernah dengar tentang Rumphius, tetapi tidak tahu itu soal apa,” katanya. ( SM)

No comments:

Post a Comment