Saturday, June 2, 2012

SMS Berbasis Biaya untuk Minimalisir Penipuan



JAKARTA-Pesan singkat selular atau short message service (SMS) gratis yang diberikan operator layanan seringkali dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan tindak penipuan. 

Hal tersebut menjadi salah satu alasan bagi Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mulai memberlakukan implementasi SMS berbasis biaya, tepatnya pada 1 Juni 2012, pukul 00.00 WIB. 

Khusus layanan SMS, sebelumnya para penyelenggara sepakat untuk menggunakan skema Sender Keep All (SKA) alias terminasi SMS tidak berbayar. Artinya, pihak penyelenggara telekomunikasi yang menerima SMS tidak memperoleh tarif, karena sepenuhnya adalah hak penyelenggara yang mengirimkan SMS. 

"Hal ini karena anggapan trafik SMS yang akan relatif seimbang karena secara natural, pengguna akan saling berbalas SMS," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kementerian Kominfo, Gatot S Dewa Broto, dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Kamis (31/5). 

Namun demikian, seiring berjalannya waktu, para penyelenggara layanan kemudian memanfaatkan skema SKA ini untuk melakukan perang promosi SMS kepada pengguna, yaitu memberikan bonus SMS atau layanan SMS gratis baik untuk trafik On-Net maupun Off-Net. 

Sekilas, kata Gatot, masyarakat diuntungkan dengan layanan SMS gratis. "Akibatnya trafik SMS meningkat. Padahal, penggunaan jaringan tentu membutuhkan biaya operasioal. Trafik SMS pun jauh menjadi tidak seimbang. Hal ini tentunya menjadi tidak adil bagi penyelenggara." ujarnya. 

Kebijakan untuk kembali menggunakan skema terminasi berbayar berdasarkan biaya (cost-based termination charge) lantas disepakati setelah pemerintah yang diwakili Kemenkominfo, BRTI, dan operator telekomunikasi bertemu. 

Adapun hasil perhitungan biaya terminasi SMS pada tahun 2010 yaitu Rp23 per SMS dan merupakan batas atas bagi penyelenggara yang terkategorikan penyelenggara jaringan dengan pendapatan usaha (operating revenue) 25%, atau lebih dari total pendapatan usaha seluruh penyelenggara jaringan dalam segmentasi layanannya (penyelenggara dominan). 

Perhitungan biaya interkoneksi, lanjut Gatot, dilakukan dengan menggunakan formula perhitungan Forward Looking Long Run Incremental Cost Bottom Up (FL-LRIC BU) model, yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Kominfo No 8 Tahun 2006. Model perhitungan ini juga digunakan oleh negara-negara lain dan dengan tujuan untuk memacu penyelenggara telekomunikasi untuk lebih efisien. 

"Ini juga mendorong tumbuhnya industri telekomunikasi di Indonesia. Dan supaya penyelenggara telekomunikasi baru tidak dibebani biaya sebagai akibat inefisiensi dari penyelenggara telekomunikasi lainnya," kata Gatot. 

Setiap penyelenggara telekomunikasi juga akan mempunyai pilihan membangun atau menyewa jaringan dari penyelenggara lain dalam melakukan interkoneksi. 

"Metode ini sudah digunakan secara internasional pada industri yang kompetitif," ujar Gatot. 

Kebijakan Kementerian Kominfo ini, kata Gatot, bertujuan memberikan keadilan bagi industri, tepatnya bagi penyelenggara yang jaringannya digunakan untuk menyalurkan trafik SMS sehingga iklim kompetisi industri telekomunikasi dapat menjadi lebih baik. 

"Kebijakan ini juga diharapkan akan dapat mengurangi SMS yang tidak diinginkan (Spam) dan penipuan lewat SMS yang selama ini telah banyak merugikan masyarakat," ujarnya. 

No comments:

Post a Comment