Saturday, April 14, 2012

“Istri Simpanan” VS “Hamil 3 Bulan dan Belah Duren”




Heboh tentang “istri simpanan” pada pekan ini, menyita banyak perhatian.  Mulai dari orang tua, pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, lembaga-lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan dan tenaga pendidik, Dinas Pendidikaan DKI Jakarta. Bahkan pengendali tertinggi dunia pendidikan di negeri tercinta ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Siapa sebenarnya “istri simpanan” yang dipermasalahkan? Dan milik siapa “istri simpanan” tersebut??? (sampai ribut nggak ketulungan sih….)

E…. ternyata, e… ternyata, wanita yang menjadi istri simpanan itu bernama Patme, seorang selebriti kah dia??? Koq sempat membuat heboh, bisa jadi cantik nih…. Goyang pinggulnya pasti kalahkan Inul sama Jupe…. Benarkah???

Penasaran ya……., baiknya ikuti kisah berikut.


Bang Maman adalah pedagang buah di Kali Pasir. Bang Maman mempunyai anak perempuan bernama Ijah dan berkata ingin menjodohkannya dengan Salim anak Pak Darip orang kaya di Kali Pasir. Tak lama setelah Salim dan Ijah menikah, Pak Darip meninggal dunia. Pak Darip meninggalkan harta warisan berupa kebun yang sangat luas kepada Salim.

Salim tidak bisa mengurus kebun peninggalan ayahnya, dan minta Kusen mengurusnya. Istri Kusen mempunyai rencana jahat, dia meminta suaminya menjual kebun Salim. Setelah kebun dijual mereka melarikan diri. Salim menjadi miskin, harta warisan ayahnya sudah habis. Akhirnya Salim berjualan buah di pasar.

Bang Maman mengetahui Salim telah jatuh miskin. Bang Maman ingin Ijah bercerai dengan Salim, karena Salim telah jatuh miskin. Ijah tidak mau, biar miskin Ijah tetap setia kepada Salim.

Akhirnya Bang Maman meminta bantuan kepada Patme supaya berpura-pura menjadi istri simpanan Salim. Patme setuju atas permintaan Bang Maman. Kemudian Patme datang ke rumah Salim dan berbicara dengan Ijah. Patme mengaku sebagai istri Salim. Patme dan Ijah bertengkar. Ijah merasa kecewa dan marah kepada Salim.

Kemudian Salim memberikan penjelasan kepada Ijah, namun Ijah tidak percaya. Akhirnya Salim pergi meninggalkan Ijah.

Suatu hari Ijah berkenalan dengan Ujang. Ujang Adalah seorang perampok yang sudah lama dicari polisi. Dengan menyamar seperti orang kaya Ujang datang melamar Ijah. Lamaran Ujang diterima dan akhirnya Ujang dan Ijah menikah.

Pada saat pernikahan berlangsung datanglah polisi menangkap Ujang dan gentong. Mereka sudah lama dicari polisi karena sebagai perampok. Namun Ijah tidak tahu kalau mereka sebagai perampok. Mereka akhirnya dibawa ke kantor polisi dan Bang Maman sebagai saksi.

Polisi minta agar semuanya tenang. Dijelaskan oleh polisi bahwa yang ditangkap itu adalah buronan. Mereka ditangkap karena sering berbuat jahat. Mereka suka merampok dan menipu. Akhirnya pesta perkawinan berangsur-angsur bubar.

Sepintas tak ada yang aneh dengan cerita di atas,  lalu mengapa sampai bisa menimbulkan kontroversi?

Kontroversi tentang adanya “istri simpanan” bermula dari pertanyaan Hana (8) seorang siswa kelas 2 pada SD Angkasa IX Halim, Jakarta.  Ia menanyakan makna “istri simpanan” pada ibunya.  Karena menemukan istilah tersebut pada LKS Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta yang dibagikan sekolahnya.  Mendapat pertanyaan yang spontanitas seperti itu membuat Intan (ibunya Hana) terbelalak.  Dan buru-buru mengalihkan ke masalah yang lain.

Lembaran Kerja Siswa (LKS) terbitan CV Media Kreasi ini pada salah satu halamannya memuat kisah “Bang Maman Penjual Buah dari Kali Pasir” yang di dalamnya termuat kata “istri simpanan”.  (Kisahnya seperti termuat di atas)

Gosip tentang adanya “istri simpanan” pada buku LKS kelas 2 SD pun mulai ramai.  Saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab pun terjadi (pastinya selalu kambing hitam yang dicari, ganti dong sama kambing putih).

Alhasil, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memanggil CV Media Kreasi terkait tercetaknya tulisan 'istri simpanan'. Sedangkan Dinas Pendidikan DKI mendiskusikan hal ini dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta. CV Media Kreasi selaku penerbit buku telah menarik buku tersebut per 13 April ini. Pun dengan SD Angkasa IX yang telah menggunakan buku itu, telah menarik buku yang sudah sampai ke tangan siswanya. 

Apakah hal ini sudah merupakan solusi yang tepat?  Bagaimana dengan nasib Hana dan anak seusianya di seluruh Indonesia yang “dipaksa” dan “terpaksa” untuk memahami logika orang dewasa?

Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listiarti, mengutip penelitian yang dilakukan Universitas Paramadina pada tahun 2008.  Mengambil beberapa sampel buku seperti agama yakni Islam, Kristen dan Katolik serta buku IPS, IPA dan Penjaskes untuk kelas 1-5 SD. Ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut.

1.    Bahan yang berlebihan, dari halaman awal kelas 1 SD langsung disodorkan teks dengan panjang bacaan mencapai 2 halaman. Padahal anak kelas 1 belum memiliki kemampuan baca dan memahami teks. Buku agama Islam juga menuliskan bacaan yang berisi 3 tulisan yakni Arab, Latin dan Indonesia.
2.    Penulis menyamakan logika anak-anak dan logika orang dewasa.
3.    Ilustrasi gambar yang menyajikan cerita urutannya tidak logis, terkait dengan keseharian anak.
4.    Menggunakan sisi intelektual yang terlalu tinggi.
5.    Penulis membayangkan kemampuan cara berpikir anak yang dianggap punya kemampuan berpikir orang dewasa.
6.    Tidak memberi porsi bagi muatan lokal sebagaimana tuntutan kurikulum.
7.    Penulis tidak mengaitkan materi bacaan dengan kondisi lokal, misal anak di daerah pesisir harusnya diberi pengetahuan tentang laut.
8.    Bahasa penuturannya salah.
9.    Tidak ada rujukan, bahkan cenderung mengarang materi.


Menurut Direktur Institute for Education Reform (IER) Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya menyebut berdasarkan riset 5 tahun lalu terhadap buku-buku ajar, hasilnya, kebanyakan buku ajar itu kurang bermutu.

"Ada buku tentang olahraga, pendidikan jasmani yang intinya menganjurkan bahwa anak-anak perempuan SD jangan dekat-dekat dengan laki-laki nanti bisa hamil. Itu kan tidak cocok untuk anak. Ada juga buku SD kelas 1, bacaan teks 3 halaman, yang mengarang profesor. Lah anak kelas 1 SD kan baru belajar membaca. Harusnya ya beberapa kalimat saja, seperti 'aku dan lingkunganku', 'aku dan sekolahku'," jelas Utomo.

Lolosnya buku-buku ajar semacam ini, menurut Utomo, akibat kurangnya perhatian pada pendidikan di Indonesia. "Kurang perhatian pada pendidikan kita, pada teknis pendidikan serba kurang, kurang sarananya, kurang jumlah gurunya, kurang pendidikan gurunya. Kurikulum sudah berubah, namun belum sampai pada pendidikan guru," jelas Utomo.
  
Kembali ke masalah “istri simpanan” yang tercetak pada buku LKS muatan lokal DKI Jakarta dan sempat membuat terhenyak dunia pendidikan.  Lalu, tolong dibandingkan dengan “Hamil 3 Bulan” lagunya Rita Sugiarto dan “Belah Duren” lagunya Julia Perez (Jupe).  Manakah yang lebih vulgar?  Tentunya lebih vulgar “Hamil 3 Bulan” dan “Belah Duren” dibandingkan “istri simpanan”.  Masih kurang yakin, baiklah penulis coba untuk membeberkan satu bait dari  lagu “Hamil 3 Bulan” dan satu bait dari lagu “Belah Duren”.

“Ku hamil duluan sudah 3 bulan karena pacaran sering gelap-gelapan” dan “Belah Duren paling asyik di malam hari, apalagi waktu malam pengantin.”

Kedua bait lagu di atas bukan saja tidak pantas didengar oleh anak seusia Hana (8 tahun), Bahkan untuk orang dewasa seperti kita pun dirasa kurang pantas.  Apalagi, lagu tersebut disertai dengan desahan-desahan dan goyangan yang mengundang birahi.

Ke manakah Hana dan orang tuanya selama ini? Sehingga tidak sempat untuk memprotes lirik-lirik yang terdapat pada ke dua lagu tersebut.  Lalu, kemana pula petinggi negeri ini yang membiarkan ke dua lagu tersebut beredar luas di tengah publik.   Dimana, fungsi dan keberadaan lembaga sensor sehingga dengan leluasa ke dua lagu tersebut ‘’nyelonong” melewati pagar pembatas.

Kita lupa betapa efektifnya, si anak belajar ketika dia mendengar dan melihat,  dibandingkan dengan hanya membaca teks dari suatu buku bacaan.  Kita lupa, betapa efektifnya sebuah lagu menyihir pendengarnya sehingga terbuai dengan alunan musiknya disbanding hanya membaca teks dari lagu itu.  Pernahkah, kita berpikir anak seusia Hana ketika membaca sebuah teks.  Dia sama sekali dan bahkan belum mampu memahami makna teks dan kalimat yang dia baca.   Namun, ketika dia menyanyikan sebuah lagu dan meniru goyangan artis hampir sama persis dengan lagu dan goyangan artis tersebut.

Mungkin saja kita semua telah terbuai dengan goyangan mba Rita dan terlena dengan montoknya payudara si Jupe.  Sehingga kita lupa bahwa anak seusia Hana masih banyak yang berkeliaran di sekitar kita, masih perlu bimbingan dan arahan kita. Dan tentunya harus bebas dari suguhan-suguhan yang tak bermoral dan mengumbar birahi.  

Masih banyak carut-marut masalah pendidikan yang harus segera dibenahi, daripada hanya sekedar mengurus “istri simpanan” si Salim yang ada pada sebuah teks cerita. 

Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan dan menyadarkan kita semua akan pentingnya fungsi dan manfaat pendidikan bagi anak-anak kita. 

No comments:

Post a Comment