Sunday, April 15, 2012

Fort Belgica, Bukti Keangkuhan Penjajah Belanda di Maluku.


Wisata kita kali ini singgah di kepulauan Banda, wilayah Maluku Tengah Propinsi Maluku.  Kepulauan Banda terletak sebelah tenggara Pulau Ambon, dimana kota Ambon ibukota propinsi Maluku berada.  Untuk menuju kepulauan Banda dapat ditempuh menggunakan kapal Pelni yang melayari rute ini setiap 2 minggu sekali.  Selain itu,  dapat pula ditempuh dengan menggunakan pesawat reguler maupun pesawat sewaan dari bandara internasional Pattimura Ambon.  Adapun waktu tempuhnya dengan kapal laut selama kurang lebih 3 jam dan menggunakan pesawat kurang lebih 20 menit perjalanan.


Kepulauan Banda memiliki berbagai objek wisata yang layak dikunjungi mulai dari wisata alamnya, wisata bawah laut (under water), wisata kuliner dan wisata sejarah.  Khusus wisata sejarah, di Banda terdapat rumah yang pernah ditempati oleh Mohammad Hatta dan Syahrir ketika dibuang oleh bangsa Belanda.  Di samping  itu, terdapat bukti-bukti keangkuhan Belanda ketika menguasai Banda.  Diantaranya Benteng Fort Nassau dan Fort Belgica yang menjadi bahasan kali ini.

Kehadiran bangsa Belanda di gugus Kepulauan Banda terbukti dengan adanya Fort Belgica. Fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan Fort Nassau yang dibangun Portugis dari serangan pribumi Banda.

Kesamaran Dunia Timur di masa lalu telah menggerakkan imajinasi para pelaut Portugis untuk merin tis sebuah perjalanan panjang tak berpeta. Dari dongeng dan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang mereka, para pelaut itu mencoba mencari tanah idaman baru untuk memetik "buah emas" yang masih terpendam di kawasan Dunia Timur Raya. Mungkin darah suku Moor yang mengalir dalam tubuh mereka mewarisi keengganan untuk tinggal dan bermukim di daerah dingin.

Bangsa yang suka berdagang itu segera beranjak mencari daerah-daerah baru, yang hawanya panas di ujung seberang lautan lepas. Setelah melewati Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), rombongan singgah dan terbagi di Calicut, India, sebelum berlabuh dan menetap di tanah idaman Bandar Malaka. Di sinilah para pelaut Portugis mencium wangi rempah-rempah Maluku dari para pedagang Jawa, Cina dan Arab. Wangi dan aromatik yang sama pemah dicium para pelaut Portugis di arena pasar Persia, Konstantinopel dan Venesia, yang juga merupakan bandar-bandar niaga masyhur di dunia.

Dongeng tentang harumnya rempah-rempah di Kepulauan Maluku membuat Alfonso de Albuquerque segera menyiapkan armada dan balatentaranya. Ekspedisi dimulai dengan mengarungi Laut Jawa, melalui Kepulauan Sunda Kecil, Ambon dan akhirnya berhenti di Ternate, tempat yang diyakini sebagai penghasil pala dan fuli (bunga pala). Dan ketika mendengar bahwa Banda adalah pusat "tambang emas" itu, ia mengutus Antonio de Abreau besert a rombongan untuk mengadakan peninjauan ke sana.

Kedua utusan ini ternyata begitu mudah diterima masyarakat setempat, terutama para pedagang dan Tua-tua Adat yang disegani. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam memperoleh Pala dan Fuli yang diharapkan. Apalagi harga rempah-rempah di Kepulauan Banda ketika itu sangat murah, sehingga para pedagang Portugis memperkirakan akan memperoleh keuntimgan mendekati 1000 persen di pasaran Lisabon.

Sebagai kebiasaan khas bangsa Portugis untuk meninggalkan kenangan di sebuah tempat persinggahan, mereka selalu mendirikan sebuah benteng yang tidak saja dipakai sebagai pos tetapi juga gudang penyimpanan berbagai kebutuhan dan peralatan. Di Neira (Banda Neira) mereka tak ketinggalan mendirikan sebuah benteng pada 1527 yang disebut Fort Nassau. Benteng ini oleh pendirinya Kapitan Garcia tidak saja dipakai sebagai latar depan gugus kekuatan sesuai dengan letaknya yang strategis di pinggir pantai tetapi sekaligus sebagai gudang penimbunan hasil bumi yang mereka peroleh dari Kepulauan Banda.

Wangi rempah-rempah di Kepulauan Banda, tidak hanya menarik minat bangsa Portugis. Pada tahun 1599, bangsa Belanda di bawah pimpinan Laksamana Muda Jacob van Heemskerk, bersama 200 pedagang, balatentara dan anak buah kapal NederlanddanZeeland, singgah di perairan Orantata, Pulau Lonthor (Banda Besar). Dengan demikian, Kepulauan Banda pada abad ke-16 telah menjadi arena pertemuan bangsa Barat, yang juga merupakan awal proses harmoni Timur-Barat.

Kehadiran Van Heemskerk tak jauh berbeda dengan pendahulunya. Meskipun secara pribadi ia tak menyukai budaya pribumi yang jarang mandi dan hampir tidak memakai baju, namun dia dan anak buahnya sangat mudah diterima oleh masyarakat pribumi Banda. Simpati itu terwujud dengan pemberian hadiah-hadiah kepada kepala-kepala kampung dan Tetua Adat berupa: cermin, pisau,
 gelas kristal, mesiu dan sejumlah beludru merah. Daya pikat demikian membuat penduduk pribumi Banda mudah me nyerahkan hasil-hasil bumi yang ada. Bahkan penduduk Banda bersedia memenuhi permintaan pala dan fuli dalam jumlah besar.

Bangsa Belanda tampaknya lebih bebas memperoleh pala dan fuli dalam jumlah besar, apalagi harganya yang relatif murah. Belanda membeli pala dengan harga 6,45 real (ringgit perak Belanda) per bahar (522 pon Belanda) dan fuli seharga 60 real per bahar. Meski saat itu terjadi inflasi harga, namun bangsa Belanda agak terhibur dengan keuntungan yang akan diraih (kurang lebih 500 persen) di pasaran Amsterdam.

Kepulauan Banda kemudian menjadi arena niaga yang ramai dengan hadirnya para pedagang Portugis, Cina, Belanda, Inggris (di bawah pimpinan James Lancaster 1601) dan Melayu. Umumnya para pedagang membawa berbagai barang keperluan penduduk yang cocok dengan keinginan dan iklim Kepulauan Banda. Pedagang Jawa membawa kain batik, India membawa kain belacu, Cina membawa porselin dan berbagai ramuan obat-obatan, Belanda membawa wol dan beludru.

Sebaliknya, kehadiran bangsa Belanda yang cepat akrab dengan penduduk pribumi, membuat rasa iri para pedagang lainnya. Ketika Fort Nassau jatuh ke tangan Belanda dan kemudian disewakan pada seorang pribumi sebagai gudang penyimpan pala dan fuli, kondisi ini menimbulkan perpecahan antara Belanda dan penduduk pribumi Banda. Mengatasi keadaan ini, Belanda lalu mendirikan sebuah benteng di belakang Fort Nassau, sebagai pelindung Fort Nassau apabila ada penyerangan dari penduduk pribumi.

Adalah Pieter Both yang tiba di Banda pada 26 April 1611 dengan 11 armadanya dan kemudian menjadi Gubemur Jenderal Banda pertama, memandang perlu untuk mendirikan benteng (Fort) Belgica tersebut. Menurut Benteng itu dinamakan Fort Belgica oleh Pieter Both untuk mengenang daerah kelahirannya di Belgia (Flams).

Letak benteng itu sangat strategis, memudahkan orang Belanda mengadakan pengawasan ke segala penjuru Kepulauan Banda. Di tengah halaman Fort Belgica terdapat sebuah sumur dan terowongan bawah tanah yang berhu bungan langsung dengan Fort Nassau yang terletak di tepi pantai Neira. Dibangun dengan bahan-bahan alam yang ada di tanah Banda Neira dan didesain menurut selera dan teknik bangsa Belanda pada masa itu, sehingga jadilah Fort Belgica seperti yang kita saksikan sekarang ini.

Akhirnya, silakan berkunjung dan menikmati sendiri keindahan taman laut Pulau Banda dan tentunya jangan lupa untuk menyaksikan kemegahan Fort Belgica ya…….

Sumber : Dari berbagai sumber.




No comments:

Post a Comment