shutterstock
Ilustrasi
|
JAKARTA — Keberadaan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) yang didasarkan adanya Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan bentuk kesalahan dan kekeliruan pemerintah dalam menjabarkan makna amanat Pembukaan UUD 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara norma dan implementasi, RSBI/SBI dinilai bermasalah. Oleh karena itu, RSBI/SBI harus dihapuskan. Sebab, kehadiran RSBI/SBI telah mengakibatkan kerugian konstitusional bagi masyarakat.
Demikian kesimpulan perkara Nomor 5/PUU-X/2012 yang disampaikan kuasa hukum Tim Advokasi "Anti Komersialisasi Pendidikan". Kesimpulan pihak pemohon ini diserahkan kepada Mahkamah Konstitusi.
Seperti diketahui, Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas digugat masyarakat. Pasal ini berbunyi "Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional".
Wahyu Wagiman, kuasa hukum pemohon, di Jakarta, Rabu (30/5/2012), mengatakan, keberadaan RSBI/SBI yang mendasarkan seleksi pada intelektual dan keuangan calon peserta didik adalah bentuk tindakan penggolongan atau pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara berdasarkan status sosial dan status ekonomi. "Keberadaan RSBI/SBI merupakan bentuk kebijakan diskriminatif dari negara yang dilegalkan melalui undang-undang. Hal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, UU HAM, bahkan UU Sisdiknas sendiri," kata Wahyu.
Selain itu juga bertentangan dengan Kovenan Internasional Hak Sipol, Kovenan Internasional Hak Ekosob serta Konvensi UNESCO menentang Diskriminasi dalam Pendidikan (1960). Kebijakan diskriminatif tersebut selanjutnya dilakukan dengan menggelontorkan dana dalam jumlah yang signifikan kepada sekolah-sekolah yang sesungguhnya sudah bagus ketimbang mengalokasikan dana secara khusus ke sekolah-sekolah terbelakang.
Ini berarti semakin tinggi standar kualitas suatu sekolah, semakin besar pula peluang sekolah itu mendapatkan privelese dana khusus dari pemerintah ataupun dari masyarakat, serta semakin tinggi pula kesempatannya untuk menjadi sekolah yang lebih bermutu lagi. Sebaliknya, sekolah-sekolah non-RSBI/SBI justru semakin tertinggal karena tidak mendapat dukungan dana yang signifikan dari pemerintah dan ada larangan melakukan pungutan.
Bukankah sekolah-sekolah terbelakang seharusnya mendapatkan dana khusus dalam jumlah besar agar dapat mengejar ketertinggalan? Ini artinya pendidikan bermutu, disadari atau tidak, hanya dapat dinikmati oleh sekelompok kecil warga negara tertentu.
Wahyu mengatakan, pendidikan sudah ditetapkan oleh konstitusi dan konsensus nasional sebagai salah satu jalur pemerataan, peningkatan akal budi warga kita, jadi menerapkan asas egaliter dalam pelaksanaan pendidikan. Adapun melalui aneka keistimewaan yang ditopang oleh aneka jenis pendanaan yang sudah mulai dipertanyakan efektivitas dan penggunaannya, RSBI/SBI dengan sengaja menimbulkan kekastaan di kalangan warga yang justru mau dihapus oleh revolusi kemerdekaan nasional.
"Kami berharap Mahkamah Konstitusi dapat obyektif melihat persoalan RSBI/SBI sehingga dengan alasan yang tak terbantahkan lagi dapat segera membatalkan Pasal 50 Ayat (3) UU Sisdiknas," papar Wahyu.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
No comments:
Post a Comment