Ilustrasi |
JAKARTA - Tingginya peminat FKIP (fakultas keguruan dan ilmu pendidikan) di kampus negeri (PTN) tidak sebanding dengan kuota yang tersedia. Setiap tahun ratusan ribu pendaftar gugur masuk FKIP di PTN.
Momentum ini menjadi santapan empuk kampus swasta yang menjalankan FKIP. Sebelum memutuskan masuk FKIP di kampus swasta, calon pendaftar harus memilih dengan selektif.
Momentum ini menjadi santapan empuk kampus swasta yang menjalankan FKIP. Sebelum memutuskan masuk FKIP di kampus swasta, calon pendaftar harus memilih dengan selektif.
Himbauan ini disampaikan oleh Sekretaris Jendral (Sekjen) Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Suyatno di Jakarta kemarin. Dia menuturkan, peminat FKIP memang luar biasa. "Profesi guru saat ini memang jadi primadona," kata dia. Tepatnya setelah ada pemberian tunjangan profesi sebagaimana diatur dalam UU Guru dan Dosen.
Tingginya peminat FKIP di kampus negeri memang tidak bisa dipungkiri. Sebaliknya, Suyatno juga mengatakan kuota FKIP di PTN tidak terlalu besar. Untuk itu pasti ada pendaftar yang gugur, dan mengalihkan pilihannya ke FKIP di PTS.
Dia mengingatkan para calon mahasiswa baru harus selektif sebelum menjatuhkan pilihan masuk ke PTS. "Jangan sampai kecewa di kemudian hari," paparnya.
Suyatno mengatakan, setidaknya ada dua hal yang harus menjadi pertimbangan penting bagi calon pendaftar FKIP di kampus swasta. Hal pertama yang paling penting adalah, calon pendaftar tidak boleh malu-malu menanyakan apakah kampus yang akan dimasuki itu masih mengantongi izin penyelenggaraan FKIP.
Suyatno yang juga rektor Uhamka (Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka) itu mengatakan, jangan sampai asal masuk PTS. Kemudian ketika sudah lulus kecewa bukan main karena ijazah yang sudah digenggam ternyata bodong. Dia menegaskan, ijazah keluaran kampus yang habis izin penyelenggaraan FKIP-nya itu tidak diakui.
"Kepastian izin penyelenggaraan itu bukan rahasia. Tetapi hak publik, terutama bagi calon pendaftar," pintanya.
Suyatno mengatakan, sistem penerbitan surat izin penyelenggaraan ini sudah berubah. Zaman dulu surat izin ini berlaku seumur hidup. Artinya tidak ada pembaharuan secara berkala.
Tetapi saat ini sistem lama itu dirubah. Saat ini surat izin penyelenggaraan FKIP dan fakultas-fakultas lainnya wajib diperbaharui empat tahun sekali. Jika kampus dinilai tidak layak menjalankan sebuah fakultas, maka izinnya dicabut. Suyatno mengatakan, surat izin ini tidak ada kaitannya dengan akreditas.
Bisa jadi sebuah prodi di salah satu FKIP swasta telah terakreditas A, B, atau C, tetapi surat izin penyelenggaraannya mati. Paling aman menurut Suyatno adalah, calon mahasiswa harus mencari tahun keberadaan surat izin penyelenggaraan FKIP sekaligus jenjang akreditasnya.
Pertimbangan kedua bagi calon mahasiswa baru yang memilih masuk FKIP di PTS adalah menentukan target level akreditasi. "Kalau menurut saya, paling aman itu masuk prodi FKIP yang minimal terakreditasi B," jelas dia.
Selain jumlahnya yang relatif banyak, proses pembelajaran di prodi yang terakreditasi B lumayan bagus. Suyatno tidak memungkiri jika level akreditasi dan kualitas pembelajaran berpengaruh pada kualitas lulusan.
Ngomong-ngomong soal akreditasi, Suyatno mengatakan masih banyak prodi-prodi FKIP di kampus swasta yang belum mengantongi akreditasi. Dia mengatakan, saat ini ada sekitar 350 PTS yang menjalankan FKIP. Dari jumlah tersebut, tercatat ada 16.000 prodi FKIP. Nah, ternyata saat ini ada sekitar 45 persen atau 7.200 unit prodi yang belum terakreditasi.
Suyatno mengatakan, prodi-prodi yang belum terakreditasi itu sudah mulai ramai-ramai memproses pengakerditasian meraka. Dia menuturkan, gerakan pengusulan akreditasi masal ini dideadline 15 Mei lalu.
Suyatno tidak hafal ada berapa prodi yang mengajukan usulan akreditasi di seluruh Indonesia. Pria yang juga menjadi Ketua APTISI DKI Jakarta itu hanya mengatakan, khusus di ibu kota ada 1.500 prodi FKIP yang belum terakreditasi. Dari seluruh prodi tadi, Suyatno mencatat ada 500 prodi yang mengusulkan akreditas ke BAN-PT (Badan Akreditas Nasional Perguruan Tinggi). "Mudah-mudahan bisa segera keluar," kata dia.
Menurut Suyatno, rata-rata prodi FKIP di PTS yang belum terakreditasi tadi mengalami hambatan pada aspek tenaga pengajar. "Sekarang ada dosen lulusan sarjana itu sudah tidak dihitung," katanya. Namun masih saja ada kampus swasta yang mempekerjakan dosen lulusan S1.
Faktor lainnya adalah, ketersediaan bahan ajar yang terbatas. Selain itu juga kualitas penelitian yang belum bagus. Dia mengaku sangat prihatin masih ada prodi FKIP di PTS yang tidak terakreditasi tetapi masih saja menerima mahasiswa dalam jumlah besar.(wan)
Sumber : http://www.jpnn.com
No comments:
Post a Comment