JAKARTA - Pendidikan karakter harus menekankan budaya tanggung jawab individual dan bukan budaya panutan, untuk membangun karakter yang konstruktif.
Pendidikan karakter pun sebaiknya tidak hanya diberikan kepada peserta didik, melainkan juga para pembuat kebijakan atau penyelenggara negara.
Pendidikan karakter pun sebaiknya tidak hanya diberikan kepada peserta didik, melainkan juga para pembuat kebijakan atau penyelenggara negara.
Hal itu dikemukakan, Widyo Nugroho Sulasdi, guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) yang menjadi Satgas Pengembang Pendidikan Karakter Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam lokakarya "Membangun Bangsa Berkarakter Unggul dan Bermoral Tinjauan Aspek Kesehatan Otak dan Sosial Humaniora", Senin (21/5/2012), di Jakarta.
"Setiap individu harus bertanggungjawab atas dirinya sendiri. Budaya panutan boleh-boleh saja, tetapi dikhawatirkan nanti tidak akan mampu membangun karakternya sendiri," kata Widyo.
Ia melanjutkan, berkarakter baik atau buruk merupakan tanggung jawab seseorang atas kesadarannya sendiri. Meski berada di lingkungan yang negatif, jika seseorang memiliki tingkat kesadaran tinggi maka karakter yang baik akan tetap baik dan tidak terpengaruh lingkungannya.
"Tanpa rasa tanggung jawab individu, akan muncul karakter destruktif," ujarnya.
Menteri Negara Riset dan Teknologi, Gusti Muhammad Hatta, menilai karakter masyarakat Indonesia semakin jauh dari karakter harapan yang religius, bertoleransi, demokratis, cinta damai, dan bertanggungjawab.
Untuk memperoleh karakter unggul dan bermoral, perlu meningkatkan kualitas otak dan menciptakan lingkungan kondusif bagi perkembangan kepribadian dan emosional.
"Keunggulan suatu bangsa dipengaruhi kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemampuan itu dipengaruhi kualitas SDM-nya," kata Gusti.
Karakter yang mendasari sikap dan perilaku dipengaruhi faktor eksternal (lingkungan) dan internal (kesehatan jiwa dan raga), yang berperan penting menentukan bagaimana seseorang tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Gusti menilai kesehatan otak, mental, dan perilaku sosial individu merupakan pondasi utama untuk membangun komunitas, masyarakat, dan bangsa.
"Simfoni sehat dalam diri individu menghasilkan pikiran dan perilaku sehat. Proses bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga akan berjalan sehat, santun, cerdas, jujur, dan amanah," kata Gusti.
Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Musa Asy'ari, juga menilai otak manusia Indonesia tidak terbangun dengan baik karena tidak menganggap penting sisi spiritualitas. Padahal kecerdasan spiritual dan emosi tidak kalah pentingnya dengan kecerdasan intelektual.
Neurosis
Ratna Megawangi dari Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor, dan pendiri Indonesia Heritage Foundation, menjelaskan, sistem pembelajaran di sekolah dengan metode menghapal, orientasi nilai atau ranking, memberi pekerjaan rumah terlalu banyak, berorientasi kognitif atau akademik, dan proses pembelajaran satu arah, justru menjadi sumber-sumber neurosis.
Akibatnya, lanjut Ratna, siswa tidak memiliki semangat belajar, kepercayaan diri rendah, dan tidak kreatif. Selain sekolah, pengasuhan orang tua yang buruk juga ikut berpengaruh membentuk perilaku buruk.
"Nurani dan empati tidak berkembang dan menghasilkan perilaku negatif seperti egois, merasa paling benar, agresif, dan menindas," kata Ratna.
Kepala Pusat Intelegensia Kementerian Kesehatan, Eka Viora, menambahkan perkembangan anak akan terpengaruh menjadi negatif apabila sering melihat kekerasan, stres, dan tidak mendapat perhatian khusus pada tahap-tahap awal perkembangannya.
"Setiap anak berpotensi menjadi anak unggul. Maka dari itu untuk mempersiapkan anak unggul, kondisi fisik dan psikis ibunya harus dijaga betul," ujarnya.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
No comments:
Post a Comment