JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi (RUU PT) menarik perhatian publik. Pada Jumat (13/7/2012) kemarin, 10 fraksi di DPR secara aklamasi menyetujui disahkannya RUU itu untuk dilanjutkan menjadi undang-undang.
Kendati demikian, RUU PT kerap melahirkan penolakan. Banyak kalangan khawatir otonomi perguruan tinggi (PT) akan semakin terpangkas lantaran pemerintah dianggap terlalu ikut campur, termasuk soal keuangan dan kurikulum pembelajaran. Pemerintah bahkan berwenang memindahkan dosen dari PT tertentu ke PT yang lain.
Guru Besar Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Arif Rahman mengatakan, lahirnya RUU PT ini lebih diakibatkan karena pemerintah kewalahan mengatur dan mengontrol adanya indikasi penyimpangan-penyimpangan yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Arif menyebutkan, indikasi penyimpangan itu, misalnya, ada PT yang membuat data fiktif demi perizinan membuka jurusan. Ia mencontohkan, pembukaan jurusan baru yang mewajibkan adanya sekian lulusan doktor bisa dimanipulasi oknum.
"Terutama PTS, yang pengendalian mutunya rendah. Memang semestinya pemerintah kuat, kalau perlu PT yang bermasalah ditutup. Dalam pembukaan jurusan baru banyak yang kurang bertanggung jawab. Buka jurusan harusnya diwajibkan, misalnya punya 15 lulusan doktor oleh oknum dimanipulasi. Data pembukaan jurusan dibuat fiktif. Pemerintah akhirnya kehilangan akal," kata Arif Rahman saat dihubungi Kompas.com di Bali, Sabtu (14/7/2012).
Arif juga melihat adanya kemungkinan peredaran proposal penelitian fiktif demi mendapatkan uang semata. Dugaan itu semakin dipertegas mengingat gaji guru, dosen, bahkan profesor cenderung masih kecil. Masalah lainnya adalah mutasi staf pengajar. Menurut Arif, banyak dosen diketahui bekerja di dua tempat sekaligus.
Ia memahami upaya pemerintah untuk mengendalikan dan mengontrol PT melalui RUU tersebut. "Saya melihat pemerintahan pusat lebih banyak ingin mengendalikan dan mengontrol PT. Ada kekurangan kemerdekaan dan otonomi di sana. Tetapi saya bisa memahami kenapa pemerintah melakukan hal itu," katanya.
Jika dipandang dari sisi positif, Arif melihat RUU PT ini menyimpan kebaikan. RUU tersebut setidaknya dapat mencegah terjadinya tindak korupsi intelektual (intellectual corruption) dan turut mengendalikan mutu pendidikan. Ia menyadari bahwa saat ini masih ada guru yang tidak menguasai ilmu yang dimilikinya secara benar, salah satunya alasannya adalah guru tersebut merupakan lulusan PT yang kurang memperhatikan mutu pendidikan para lulusannya. Dengan RUU tersebut, kata Arif, pemerintah berusaha mempertajam pengawasan terhadap mutu pendidikan.
Menurut Arif, pokok soalnya ada di statuta perguruan tinggi. Akan tetapi, dengan adanya RUU PT itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bisa melakukan intervensi. Hal itulah yang dipahami sebagai campur tangan. Arif mengusulkan agar pemerintah tidak bertindak otoriter, misalnya dengan memberlakukan perizinan pada segala aspek. Yang terpenting adalah kontrol dan pengendalian secara berkala, terutama mengenai kualitas mutu PTS.
Arif menyatakan setuju apabila pengetatan itu dilakukan dengan semangat untuk mengatasi "keliaran" yang terjadi di PT. Meski demikian, ia menilai bahwa hal itu dapat diatur dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP), bukan melalui undang-undang yang cenderung terlalu ketat. "Pendekatan yang digunakan harus bersifat demokratis. Kontrol dan pengendalian yang terpenting. Pengendalian itu jangan sampai 'dibeli' dengan uang. Pendidikan akhirnya seperti bisnis. Itu yang tidak boleh terjadi," katanya.
Secara terpisah, pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan, PT harus diberikan otonomi penuh dan tidak setengah-setengah. Berdasarkan pengalamannya mengamati pendidikan di mancanegara, intervensi pemerintah maupun agama justru dapat menghambar kemajuan, terutama mengenai pendidikan. "Harusnya PT diberikan otonomi penuh karena ilmu pengetahuan takkan berkembang tanpa otonomi," kata HAR Tilaar di Jakarta, Sabtu (14/7/2012).
Seperti diketahui, dalam RUU PT terdapat Pasal 65 dan 66. Munculnya kedua pasal tersebut menuai protes. Pada Pasal 66, disebutkan bahwa Statuta PTN ditetapkan dengan PP atau Peraturan Menteri. Adapun Pasal 65 menyatakan menteri berwenang mengevaluasi otonomi perguruan tinggi.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
No comments:
Post a Comment