ILUSTRASI; Pada 2007 BPK RI menemukan adanya penyelewengan dana BOS para 2.054 sekolah dari 3.237 sampel sekolah yang diperiksa dengan nilai penyimpangan kurang lebih Rp 28,1 miliar. |
JAKARTA - The Asia Foundation merilis laporan tentang alokasi belanja langsung pendidikan yang masih banyak diselewengkan oleh pemerintah kabupaten atau pemerintah kota di Indonesia. Sebagian besar anggaran pendidikan banyak dialokasikan hanya untuk wajib belajar pendidikan dasar (dikdas) sembilan tahun.
Direktur Local and Economic Governance The Asia Foundation, Erman A Rahman, menjelaskan anggaran pendidikan tersebut sebenarnya juga harus dialokasikan untuk peningkatan mutu belajar.
"Rata-rata pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia menganggarkan lebih dari 60 persen anggaran pendidikannya hanya untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, bukan peningkatan mutu belajar," kata Erman saat konferensi pers di kantor The Asia Foundation Jakarta, Rabu (16/5/2012).
The Asia Foundation mencatat kota Makassar merupakan kota yang menganggarkan sekitar lebih dari 90 persen anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Sisanya baru dibagi untuk peningkatan sarana aparatur, pelayanan admin perkantoran dan manajemen layanan pendidikan.
Begitu juga untuk pemerintah kabupateni Tulungagung, Bulukumba, Kota Singkawang, Sambas, Jember, Barru, Bengkayang dan Melawi yang masih menganggarkan di atas 80 persen untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Dua kabupaten yang cukup bagus mengalokasikan dana pendidikannya adalah kabupaten Luwu dan Simeulue. Kabupaten Luwu hanya menganggarkan 25 persen anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan sekitar 72 persen menganggarkan untuk manajemen pelayanan pendidikan.
"Kabupaten Simeulue juga hanya menganggarkan 21 persen untuk wajib belajar sembilan tahun, sekitar 25 persen untuk peningkatan sarana aparatur dan hampir 50 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran dan sisanya untuk manajemen pelayanan pendidikan," tambahnya.
Di sisi lain, peningkatan anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini ternyata tidak dibarengi dengan angka partisipasi murni (APM) siswa yang mengikuti program tersebut.
"Ini yang terjadi justru sebaliknya," tambah Coordinator of Research and Development Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Muhammad Maulana.
Menurutnya, ada beberapa kota atau kabupaten yang memberikan anggaran wajar per siswa lebih besar, namun angka partisipasi murni untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini masih rendah.
Sebagai contoh, di Aceh Singkil hanya diberikan anggaran pendidikan sebesar Rp 400.000 per anak. Namun angka partisipasi murni untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun sudah sekitar 75 persen.
"Sementara di kabupaten Melawi yang sudah memberikan anggaran pendidikan Rp 1,55 juta per siswa hanya mengikuti program wajib belajar sebesar 57 persen," tambahnya. Akibatnya, pemerintah harus turun tangan untuk membantu kelancaran distribusi anggaran pendidikan agar digunakan untuk hal-hal yang tepat sasaran.
The Asia Foundation telah melakukan wawancara terhadap 988 pelaku usaha di 20 kabupaten atau kota, dengan sekitar 50 responden per daerah. Survei dilakukan di Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Responden dipilih secara acak berdasarkan Sensus Ekonomi berdasarkan skala usaha (kecil, menengah, besar) dan sektor usaha (industri, perdagangan dan jasa). The Asia Foundation juga bekerjasama dengan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran untuk melakukan studi serupa ini
"Rata-rata pemerintah kabupaten atau kota di Indonesia menganggarkan lebih dari 60 persen anggaran pendidikannya hanya untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun, bukan peningkatan mutu belajar," kata Erman saat konferensi pers di kantor The Asia Foundation Jakarta, Rabu (16/5/2012).
The Asia Foundation mencatat kota Makassar merupakan kota yang menganggarkan sekitar lebih dari 90 persen anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun. Sisanya baru dibagi untuk peningkatan sarana aparatur, pelayanan admin perkantoran dan manajemen layanan pendidikan.
Begitu juga untuk pemerintah kabupateni Tulungagung, Bulukumba, Kota Singkawang, Sambas, Jember, Barru, Bengkayang dan Melawi yang masih menganggarkan di atas 80 persen untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun.
Dua kabupaten yang cukup bagus mengalokasikan dana pendidikannya adalah kabupaten Luwu dan Simeulue. Kabupaten Luwu hanya menganggarkan 25 persen anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan sekitar 72 persen menganggarkan untuk manajemen pelayanan pendidikan.
"Kabupaten Simeulue juga hanya menganggarkan 21 persen untuk wajib belajar sembilan tahun, sekitar 25 persen untuk peningkatan sarana aparatur dan hampir 50 persen untuk pelayanan administrasi perkantoran dan sisanya untuk manajemen pelayanan pendidikan," tambahnya.
Di sisi lain, peningkatan anggaran pendidikan untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini ternyata tidak dibarengi dengan angka partisipasi murni (APM) siswa yang mengikuti program tersebut.
"Ini yang terjadi justru sebaliknya," tambah Coordinator of Research and Development Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Muhammad Maulana.
Menurutnya, ada beberapa kota atau kabupaten yang memberikan anggaran wajar per siswa lebih besar, namun angka partisipasi murni untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun ini masih rendah.
Sebagai contoh, di Aceh Singkil hanya diberikan anggaran pendidikan sebesar Rp 400.000 per anak. Namun angka partisipasi murni untuk wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun sudah sekitar 75 persen.
"Sementara di kabupaten Melawi yang sudah memberikan anggaran pendidikan Rp 1,55 juta per siswa hanya mengikuti program wajib belajar sebesar 57 persen," tambahnya. Akibatnya, pemerintah harus turun tangan untuk membantu kelancaran distribusi anggaran pendidikan agar digunakan untuk hal-hal yang tepat sasaran.
The Asia Foundation telah melakukan wawancara terhadap 988 pelaku usaha di 20 kabupaten atau kota, dengan sekitar 50 responden per daerah. Survei dilakukan di Nangroe Aceh Darussalam, Kalimantan Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Responden dipilih secara acak berdasarkan Sensus Ekonomi berdasarkan skala usaha (kecil, menengah, besar) dan sektor usaha (industri, perdagangan dan jasa). The Asia Foundation juga bekerjasama dengan Sekretariat Nasional Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran untuk melakukan studi serupa ini
Sumber : http://edukasi.kompas.com
No comments:
Post a Comment