Oleh : Chakim Musthofa
RAMADHAN tahun ini banyak guru cemas. Ada yang tidak bisa tidur. Ada yang serbasalah. Ada yang galau. Minggu ini menjadi pertaruhan reputasi profesi mereka sebagai guru profesional. Meski tidak semua tetapi mayoritas guru grogi menghadapi UKG (Uji Kompetensi Guru). Guru berpikiran bahwa UKG adalah penentu “hidup-mati” karir mereka. Mereka takut jika tidak lulus, sertifikat pendidik segera dicabut dan akhirnya tidak mendapat tunjangan profesi.
Ketakutan guru bertambah kuat karena UKG menggunakan sistem online. Yang berarti guru harus berhadapan dengan komputer dan internet. Celakanya UKG kali ini banyak diikuti guru senior yang rata-rata gagap teknologi meski telah bersertifikat pendidik. Hal ini memunculkan kelucuan di kalangan guru. Sebagian guru yang mengaku tidak melek komputer kompak memakai pita hitam di lengan sebagai tanda yang bersangkutan gagap teknologi komputer dan internet. Harapan mereka ketika mengerjakan UKG mendapat dispensasi bantuan mengoperasikan perangkat IT.
Penggambaran ketakutan guru menghadapi UKG persis dengan ketakutan siswa menghadapi Ujian Nasional (UN). Padahal esensi ujian bukan pada lulus atau tidak. Seperti halnya UN untuk menguji kompetensi siswa, UKG bertujuan menguji kompetensi guru. Jika guru mengetahui dan menguasai kompetensi, bukan tidak mungkin mampu menjawab soal. Tetapi jika guru “bandel” alias menyalahi tupoksi utamanya, kemungkinan besar guru kesulitan menjawab soal. Karena pada dasarnya setiap ujian adalah instrumen untuk mengukur sejauh mana pemahaman dan keahlian telah dijalankan dengan benar.
Mempertaruhkan Mutu Guru
Sekarang saat yang tepat mempertaruhkan mutu guru. Di saat alokasi pendidikan terpenuhi 20% dari APBN apakah kualitas pendidikan benar-benar meningkat. Di saat penghargaan dan kesejahteraan ditingkatkan apakah kinerja, prestasi dan kompetensi guru juga otomatis meningkat. Selama ini kesan umum di masyarakat adalah pengkambinghitaman masalah mutu pendidikan yang tertuju kepada murid, sarana dan prasarana, kurikulum. Kualitas pendidikan sering dikaitkan dengan murid yang tidak lulus UN. Hasil belajar tidak maksimal sering dihubungkan dengan sekolah rusak dan tidak representatif. Sebaliknya, keterlibatan guru sebagai “aktor utama” dalam peningkatan mutu pendidikan jarang ditilik dan dievaluasi.
Masyarakat seharusnya menanyakan kesan negatif itu kepada guru. Guru patut dicurigai. Jangan-jangan teknik mengajar dan metodologi pengajarannya salah. Jangan-jangan guru tidak berkompeten karena tidak sesuai jurusan. Jangan-jangan guru tak pernah memanfaatkan TIK untuk pembelajaran. Jangan-jangan guru mengajar ala kadarnya tanpa menyiapkan RPP dan mengabaikan silabus. Jangan-jangan guru hanya memberi tugas tanpa memberi waktu berdiskusi apalagi memecahkan soal bersama. Kecurigaan semacam ini perlu dibuktikan melalui UKG.
Revolusi Ujian
Penyelenggaraan UKG online diyakini sebagai revolusi ujian. Tidak perlu lagi pensil, penghapus dan kertas. Tidak perlu lagi banyak pengawas ujian. Tidak perlu lagi pengoreksian lembar jawab secara massal. Tidak perlu lagi pemaketan dan pengiriman naskah secara masif. Semuanya dijalankan oleh sistem. Intinya ujian online memangkas beaya yang tidak diperlukan.
Inisiasi pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan UKG online merupakan usaha perluasan dan keterjangkauan akses pendidikan. Bentuk ujian online dirasa cocok dengan kondisi geografis Indonesia yang luas dan tersebar. Konsepnya sederhana : mengumpulkan yang tersebar, mendekatkan yang jauh dan menyatukan yang berserakan. Pelaksanaannya lebih praktis, mudah diawasi dan dievaluasi. Di sisi lain UKG online menyemangati guru untuk selalu memperbarui kompetensi diri. Jaman terus berubah, guru pun harus mengikutinya dengan pengembangan diri. Paling tidak pengenalan dan pemanfaatan IT untuk pembelajaran merupakan langkah wajib di era ini. Kalau tidak segera memulainya niscaya guru menjadi tumbal bagi dirinya sendiri.
Penentu Kebijakan Mutu Pendidikan
Uji Kompetensi Guru sebagai salah satu aspek nilai penjaminan mutu pendidikan harus dilakukan secara ekstrim tetapi kontinyu. Secara ekstrim, artinya perlu adanya pemaksaan. Guru perlu dipaksa belajar menggunakan perangkat IT. Harapannya agar guru membiasakan mengajar dengan memanfaatkan perangkat IT. Secara kontinyu berarti peningkatan mutu harus bertahap dan bekelanjutan, tidak boleh berhenti di tengah jalan.
Terlepas dari kelebihan-kekurangannya, UKG adalah usaha pemberdayaan sumber daya yang memadukan teknologi dan keseriusan SDM. Sebagai program perdana, UKG masih banyak perbaikan. Di beberapa lokasi ujian masih ditemui gagal koneksi ke server pusat (Kompas.com, Senin, 30 Juli 2012), kesalahan data peserta ujian, ketidakfahaman peserta tentang bentuk ujian online.
Maklum saja tidak semua guru mahir komputer apalagi internet. Guru mahir komputer umumnya di perkotaan yang cepat beradaptasi dengan perkembangan IT. Tetapi tidak dengan guru di desa yang nihil pemahaman komputer dan langka sentuhan teknologi. Kemanfaatan UKG bagi guru antara lain : mengondisikan kedisiplinan, menghargai waktu, cepat dan tepat bertindak. Manfaat secara global pertama, penghematan anggaran seperti untuk penggandaan, distribusi, koreksi soal. Kedua, memaksa guru melek IT. Ketiga, mencegah per-joki-an ujian. Keempat, meminimalisir kebocoran soal. Kelima, mengetahui realtime-score (nilai ujian seketika) yang bertujuan untuk transparansi hasil ujian sehingga tidak ada “tawar-menawar kompetensi”. Hasilnya mutlak bisa dijadikan pengukuran, pemetaan dan penentu kebijakan peningkatan mutu pendidikan. (**)
Sumber : http://www.radarambon.co
Sumber : http://www.radarambon.co
No comments:
Post a Comment