Seperti tahun-tahun sebelumnya, hari ini kembali Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke 67. Usia yang tidak muda lagi namun tak dapat dibilang tua apalagi jompo. Hari merdeka merupakan sesuatu yang sangat sakral. Karena merupakan momentum kebangkitan untuk membangun tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah yang diamanatkan oleh The founding fathers kita, para pendiri negeri ini 67 tahun yang lalu. Cita-cita dan amanat suci yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara RI tahun 1945.
Kata "Merdeka" begitu dirindukan 68 tahun yang lalu dan bahkan jauh sebelum itu. Kebebasan dan kemerdekaan sangat didambakan oleh para pejuang kita saat itu. Perjuangan untuk menuntut kebebasan, menuntut kemerdekaan begitu bergelora bahkan harus ditukar dengan nyawa sekalipun. Mengapa??? Karena tak "nikmat" ketika kita dijajah, ketika kita diinjak, ketika kita dipukuli, ketika kita di caci maki, ketika kita dirampas kebebasan kita untuk hidup merdeka di negeri sendiri.
Namun ketika usia bangsa ini sudah menapaki angka 67. Makna kemerdekaan seakan terasa jauh dari cita-cita. Arti kemerdekaan melenceng jauh dari harapan. Kemerdekaan ditafsirkan menurut kehendak penguasa, kebebasan didefenisikan menurut selera si "empunya" kebebasan.
Bila kita membalik catatan sejarah, akan tampak oleh kita sejumlah permasalahan pelik bangsa ini yang tak pernah terselesaikan dengan baik. Dengan mengatasnamakan kebebasan, mengatasnamakan kemerdekaan ada ribuan nyawa hilang, ribuan orang yang disiksa bahkan ribuan orang yang dipenjara.
Kita mungkin ingat, peristiwa PKI Madiun tahun 1948, penumpasan dilakukan terhadap orang-orang yang nyata-nyata tidak bersalah. Korbannya adalah masyarakat yang hanya ikut-ikutan tanpa tahu akar permasalahan sebenarnya. Mereka hanya "dicuci otak" oleh orang-orang yang berseberangan dengan pemerintah saat itu. Demi melindungi "kemerdekaan" pemerintah saat itu menjadikan mereka sebagai tumbal bagi kelangsungan kokohnya pondasi negeri ini.
Beranjak ke tahun 1965, 7 jenderal terbaik negeri ini harus jadi korban karena persaingan politik. Imbasnya lagi-lagi masyarakat yang "diadili" dengan bahasa penguasa saat itu. Masyarakat menjadi korban untuk "membungkus rapi" intrik politik dan makna "kemerdekaan semu."
Memang benar demi tegak dan kokohnya sebuah negara, utuhnya suatu kekuasaan. Pemerintah (penguasa) harus bertindak tegas, menumpas pemberontakan yang berpotensi melemahkan negara atau menghancurkan negara. Tetapi tidak jarang dibalik tindakan tegas itu terdapat orang-orang yang tidak berdosa ikut menjadi korban.
Beralih ke tahun 1998 inilah puncak "kebebasan" yang tidak terkendali, mahasiswa berjuang untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah yang sah. Mengatasnamakan "reformasi" menuntut "kebebasan" yang "sebebas-bebasnya". Alhasil, penguasa lama berhasil ditumbangkan lalu muncullah "penguasa" baru. Sehingga sumber permasalahan baru pun muncul ke permukaan.
Reformasi yang awalnya bertujuan mulia ternyata "ditunggangi" oleh oknum-oknum yang haus kekuasaan. Orang-orang yang merasa terpinggirkan oleh penguasa. Manusia-manusia yang tak memperoleh jatah "kemerdekaan". Karena merdeka menurut mereka harus ikut "berkuasa", merdeka menurut mereka tidak ditindak oleh sang penguasa meskipun salah menurut norma dan aturan. Merdeka menurut mereka bebas berbuat apa saja menurut selera mereka. Bebas melanggar aturan dan norma yang diakui negara, masyarakat dan agama.
Inilah kata "merdeka" yang telah salah ditafsirkan, salah diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga tak jarang justru kebebasan itu melanggar rasa "merdeka" dan rasa "bebas" orang lain.
Kebebasan seperti ini justru menimbulkan "konflik", baik politik, ekonomi, dan tentunya konflik sosial.
Konflik sosial yang terjadi dengan mengatasnamakan "kebebasan" kerap terjadi di negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita ketika FPI (Front Pembela Islam) terlibat bentrok dengan massa pengusung "kebebasan" di lapangan Monas beberapa tahun lalu. Pembubaran paksa FPI terhadap peserta "diskusi" (bedah buku) Irsyad Manji yang lagi-lagi mengusung tema "kebebasan" (bebas melakukan pergaulan sejenis). Pembakaran pesantren jemaah Ahmadiyah yang menuntut "kebebasan" beragama di berbagi tempat dan sejumlah permasalahan lainnya. Mengapa hal ini dilakukan? Alasan utamanya adalah karena "kebebasan" yang diusung telah menyalahi norma dan aturan. Norma dan aturan haruslah menjadi landasan pokok dari "kemerdekaan" dan "kebebasan" itu sendiri.
Kemerdekaan dan kebebasan bukan berarti melanggar norma dan aturan karena kemerdekaan dan kebebasan itu sendiri haruslah mempunyai dasar hukum. Bukankah kita mempunyai naskah proklamasi sebagai dasar hukum kemerdekaan kita? Dan kita mempunyai Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi aturan, prinsip dan sumber hukum di negara ini. Sehingga akan salah bila kita masih menuntut "kebebasan" dengan menyalahi norma dan aturan hukum yang ada.
Lalu kemerdekaan dan kebebasan yang bagaimana yang boleh dituntut di negeri ini? Kemerdekaan yang tidak membuat orang lain merasa dijajah dan tertekan. Kebebasan yang membuat orang lain merasa bebas dan tentunya tidak menyalahi aturan dan norma yang berlaku. Memang terasa berat tetapi tak ada salahnya dicoba.
Selamat merayakan HUT RI ke 67, semoga kita menjadi bangsa yang selalu menghargai arti kemerdekaan.
No comments:
Post a Comment