Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) tahun ini
bertemakan “Menuju Generasi Emas”. Tema
yang sangat menjanjikan di tengah bertumpuknya persoalan yang mendera bangsa
ini. Mulai persoalan politik, masalah
hukum, tindakan kriminal, ekonomi, sosial, korupsi yang tak berkesudahan, dan
tentunya masalah pendidikan itu sendiri.
Persoalan pendidikan yang sempat terdengar riuh rendah pada akhir-akhir
ini adalah masalah “istri simpanan” dalam Kisah Bang Maman dari Kali Pasir dan polemik
seputar keberadaan RSBI / SBI.
Polemik tentang perlu tidaknya Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) / Sekolah Berstandar Internasional (SBI) mengemuka saat para orang tua murid dan aktivis pendidikan mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konsitusi tentang aturan yang mengatur RSBI / SBI tersebut. Sebagaimana diketahui, sejumlah orang tua dan aktivis pendidikan mempersoalkan pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas karena tak bisa mengakses satuan pendidikan RSBI/SBI ini lantaran mahal. (Apakah pendidikan yang bermutu harus selalu mahal? Pertanyaan simpelnya mungkin seperti itu).
Sebelum
melangkah lebih jauh, baiknya kita tengok dulu akar masalahnya. Masalah pertama ada pada pasal 50 ayat 3 UU
Sisdiknas yang bunyinya sebagai berikut: “Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan
pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
pendidikan yang bertaraf internasional”. Masalah kedua
terletak pada adanya diskriminatif yang
dirasakan oleh sejumlah orang tua ketika ingin memasukan anaknya ke RSBI / SBI.
Menyimak
bunyi pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas di atas kita akan berkesimpulan bahwa RSBI /
SBI itu harus ada, karena keberadaannya telah diamanatkan oleh
Undang-Undang. Lalu kenapa kemudian digugat? Karena implementasi dari pasal 50
ayat 3 UU Sisdiknas dalam prakteknya berbenturan dengan UU No. 24/2009 pasal 29
ayat 1, 2 dan 3 serta UUD 1945 pasal 36. Benarkah
demikian?
Implementasi Rintisan Sekolah Berstandar Internasional
(RSBI) / Sekolah Berstandar Internasional (SBI) diatur dalam Permendiknas No
79/2009 pasal 5 ayat 3,4 dan 5 yang berbunyi:
(3) SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa
Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional
bagi mata pelajaran tertentu.
(4) Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia,
Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Sejarah, dan Muatan
lokal menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia.
(5) Penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris atau
bahasa asing lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dimulai dari kelas IV untuk SD.
Jelasnya, pasal 5 ayat 1, 2, dan 3 ini
menginstruksikan penggunaan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya dalam mata
pelajaran tertentu dan itu dimulai dari kelas IV SD pada sekolah-sekolah berlabel
RSBI / SBI. Namun pada prakteknya,
bahasa Inggris menjadi dominan sebagai bahasa pengantar dibandingkan bahasa
Indonesia. Inilah yang oleh sebagian
ahli disebut melanggar konstitusi dan menghianati sejarah.
Penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar bertentangan
dengan UU No. 24/2009 yang mengatur tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara
serta Lagu Kebangsaan. Menurut pasal 29 ayat 2 dari UU tersebut menyebutkan bahwa bahasa
asing dapat digunakan sebagai bahasa pengantar dalam satuan pendidikan untuk
tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik. Dengan demikian berdasarkan pasal 29 ayat 2
yang boleh menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan bahasa asing lain
hanyalah pelajaran bahasa Inggris dan pelajaran bahasa asing yang lain.
Benarkah hal ini juga bertentangan dengan UUD 1945
pasal 36? Dalam tataran cita-cita dan
tujuan pendirian SBI dirasakan sejalan dengan amanat pembukaan UUD 1945 yakni
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dalam
realita mahalnya “harga jual” sebuah kursi pada sekolah-sekolah yang berlabel
RSBI / SBI terasa mencekik leher orang tua siswa. Sehingga mereka sulit untuk
menyekolahkan anaknya pada sekolah-sekolah tersebut. Kemudian perbedaan
fasilitas serta tenaga pendidik antara sekolah umum dan sekolah berlabel RSBI/
SBI juga turut dikeluhkan orang tua. Hal inilah yang dianggap diskriminatif dan
bertentangan dengan UUD 1945 pasal 36 yang menjamin setiap warga negara berhak
mendapatkan pengajaran.
Apakah masalah RSBI/SBI hanya sampai di sini? Ternyata
masih ada lagi nih yang tak kalah serunya dari sisi ekonomi dirasakan
berpotensi menguras keuangan negara.
Menurut Satria
Dharma, “SBI merupakan proyek prestisius, karena akan
dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30%, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat
mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun
dalam masa rintisan tersebut.” (Tolong
dikalikan dengan RSBI/SBI yang jumlahnya mencapai 1.305 sekolah). Tentunya sebuah angka yang cukup
fantastis dan bukan tidak mungkin dijadikan lahan bagi-bagi “keuntungan”.
Bagaimana dengan mutu dan kualitas lulusannya? Hal ini
yang menjadi tanda tanya besar. Mengapa?
Menurut sejarawan Asvi Warman Adam yang juga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) ini, siswa yang bisa berbahasa Inggris dengan lancar tidak
menunjukkan kualitas ilmu pengetahuan siswa. Sebab mutu pendidikan ditentukan
banyak hal, sedangkan bahasa hanyalah alat pengantar saja.
Mirisnya, menurut Asvi, Bahasa Inggris di Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) diterapkan sebagai bahasa baku dalam
peraturan tertulis.
Selain menumbuhkan kebanggan semu, penggunaan Bahasa
Inggris sebagai bahasa pengantar dalam Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
(RSBI) dapat mengikis kecintaan dan semangat persatuan bangsa. Dia mengingatkan
bahwa Indonesia bisa bersatu dengan Bahasa Indonesia sejak dideklarasikan pada
Sumpah Pemuda 1928.
Akhirnya, apa sebenarnya yang diharapkan pemerintah
dengan adanya RSBI / SBI ini? Semuanya berpulang kepada pemerintah selaku
pengambil kebijakan. Tetapi ada baiknya pemerintah segera membenahi sistem dan
kerangka dasar dari kebijakan ini. Kalau
tidak RSBI akan menjadi Rintisan Sekolah
Berbahasa Inggris dan SBI akan
menjadi Sekolah Berbahasa Inggris. Ditengah
pujian dan kritikan, kita semua berharap kebijakan ini akan melahirkan “generasi
emas pada waktunya”.
Selamat merayakan Hari Pendidikan Nasional bagi
kalangan guru, pemerhati, aktivis dan penggagas pendidikan di seantero tanah
air.
No comments:
Post a Comment