Wisata kita kali ini singgah di kepulauan Banda, wilayah Maluku Tengah
Propinsi Maluku. Kepulauan Banda
terletak sebelah tenggara Pulau Ambon, dimana kota Ambon ibukota propinsi
Maluku berada. Untuk menuju kepulauan
Banda dapat ditempuh menggunakan kapal Pelni yang melayari rute ini setiap 2
minggu sekali. Selain itu, dapat pula ditempuh dengan menggunakan pesawat
reguler maupun pesawat sewaan dari bandara internasional Pattimura Ambon. Adapun waktu tempuhnya dengan kapal laut
selama kurang lebih 3 jam dan menggunakan pesawat kurang lebih 20 menit
perjalanan.
Kepulauan Banda memiliki berbagai objek wisata yang layak dikunjungi
mulai dari wisata alamnya, wisata bawah laut (under water), wisata kuliner dan
wisata sejarah. Khusus wisata sejarah,
di Banda terdapat rumah yang pernah ditempati oleh Mohammad Hatta dan Syahrir
ketika dibuang oleh bangsa Belanda. Di
samping itu, terdapat bukti-bukti
keangkuhan Belanda ketika menguasai Banda.
Diantaranya Benteng Fort Nassau dan Fort Belgica yang menjadi bahasan
kali ini.
Kehadiran bangsa Belanda di gugus Kepulauan Banda
terbukti dengan adanya Fort Belgica. Fungsinya untuk menjaga dan mempertahankan
Fort Nassau yang dibangun Portugis dari serangan pribumi Banda.
Kesamaran Dunia Timur di masa lalu telah menggerakkan
imajinasi para pelaut Portugis untuk merin tis sebuah perjalanan panjang tak
berpeta. Dari dongeng dan legenda yang dituturkan oleh nenek moyang mereka,
para pelaut itu mencoba mencari tanah idaman baru untuk memetik "buah
emas" yang masih terpendam di kawasan Dunia Timur Raya. Mungkin darah suku
Moor yang mengalir dalam tubuh mereka mewarisi keengganan untuk tinggal dan
bermukim di daerah dingin.
Bangsa yang suka berdagang itu segera beranjak mencari
daerah-daerah baru, yang hawanya panas di ujung seberang lautan lepas. Setelah
melewati Tanjung Harapan (Cape of Good Hope), rombongan singgah dan terbagi di
Calicut, India, sebelum berlabuh dan menetap di tanah idaman Bandar Malaka. Di
sinilah para pelaut Portugis mencium wangi rempah-rempah Maluku dari para
pedagang Jawa, Cina dan Arab. Wangi dan aromatik yang sama pemah dicium para
pelaut Portugis di arena pasar Persia, Konstantinopel dan Venesia, yang juga
merupakan bandar-bandar niaga masyhur di dunia.
Dongeng tentang harumnya rempah-rempah di Kepulauan
Maluku membuat Alfonso de Albuquerque segera menyiapkan armada dan
balatentaranya. Ekspedisi dimulai dengan mengarungi Laut Jawa, melalui
Kepulauan Sunda Kecil, Ambon
dan akhirnya berhenti di Ternate, tempat yang diyakini sebagai penghasil pala
dan fuli (bunga pala). Dan ketika mendengar bahwa Banda adalah pusat
"tambang emas" itu, ia mengutus Antonio de Abreau besert a rombongan
untuk mengadakan peninjauan ke sana.
Kedua utusan
ini ternyata begitu mudah diterima masyarakat setempat, terutama para pedagang
dan Tua-tua Adat yang disegani. Mereka tidak mengalami kesulitan dalam
memperoleh Pala dan Fuli yang diharapkan. Apalagi harga rempah-rempah di
Kepulauan Banda ketika itu sangat murah, sehingga para pedagang Portugis
memperkirakan akan memperoleh keuntimgan mendekati 1000 persen di pasaran
Lisabon.
Sebagai kebiasaan khas bangsa Portugis untuk
meninggalkan kenangan di sebuah tempat persinggahan, mereka selalu mendirikan
sebuah benteng yang tidak saja dipakai sebagai pos tetapi juga gudang
penyimpanan berbagai kebutuhan dan peralatan. Di Neira (Banda Neira) mereka tak
ketinggalan mendirikan sebuah benteng pada 1527 yang disebut Fort Nassau.
Benteng ini oleh pendirinya Kapitan Garcia tidak saja dipakai sebagai latar
depan gugus kekuatan sesuai dengan letaknya yang strategis di pinggir pantai
tetapi sekaligus sebagai gudang penimbunan hasil bumi yang mereka peroleh dari
Kepulauan Banda.
Wangi rempah-rempah di Kepulauan Banda, tidak hanya
menarik minat bangsa Portugis. Pada tahun 1599, bangsa Belanda di bawah
pimpinan Laksamana Muda Jacob van Heemskerk, bersama 200 pedagang, balatentara
dan anak buah kapal NederlanddanZeeland, singgah di perairan Orantata, Pulau
Lonthor (Banda Besar). Dengan demikian, Kepulauan Banda pada abad ke-16 telah
menjadi arena pertemuan bangsa Barat, yang juga merupakan awal proses harmoni
Timur-Barat.
Kehadiran Van Heemskerk tak jauh berbeda dengan
pendahulunya. Meskipun secara pribadi ia tak menyukai budaya pribumi yang
jarang mandi dan hampir tidak memakai baju, namun dia dan anak buahnya sangat
mudah diterima oleh masyarakat pribumi Banda. Simpati itu terwujud dengan
pemberian hadiah-hadiah kepada kepala-kepala kampung dan Tetua Adat berupa:
cermin, pisau,
gelas kristal,
mesiu dan sejumlah beludru merah. Daya pikat demikian membuat penduduk pribumi
Banda mudah me nyerahkan hasil-hasil bumi yang ada. Bahkan penduduk Banda
bersedia memenuhi permintaan pala dan fuli dalam jumlah besar.
Bangsa Belanda tampaknya lebih bebas memperoleh pala
dan fuli dalam jumlah besar, apalagi harganya yang relatif murah. Belanda
membeli pala dengan harga 6,45 real (ringgit perak Belanda) per bahar (522 pon
Belanda) dan fuli seharga 60 real per bahar. Meski saat itu terjadi inflasi
harga, namun bangsa Belanda agak terhibur dengan keuntungan yang akan diraih
(kurang lebih 500 persen) di pasaran Amsterdam.
Kepulauan Banda kemudian menjadi arena niaga yang
ramai dengan hadirnya para pedagang Portugis, Cina, Belanda, Inggris (di bawah
pimpinan James Lancaster 1601) dan Melayu. Umumnya para pedagang membawa
berbagai barang keperluan penduduk yang cocok dengan keinginan dan iklim
Kepulauan Banda. Pedagang Jawa membawa kain batik, India membawa kain belacu,
Cina membawa porselin dan berbagai ramuan obat-obatan, Belanda membawa wol dan
beludru.
Sebaliknya, kehadiran bangsa Belanda yang cepat akrab
dengan penduduk pribumi, membuat rasa iri para pedagang lainnya. Ketika Fort
Nassau jatuh ke tangan Belanda dan kemudian disewakan pada seorang pribumi
sebagai gudang penyimpan pala dan fuli, kondisi ini menimbulkan perpecahan
antara Belanda dan penduduk pribumi Banda. Mengatasi keadaan ini, Belanda lalu
mendirikan sebuah benteng di belakang Fort Nassau, sebagai pelindung Fort
Nassau apabila ada penyerangan dari penduduk pribumi.
Adalah Pieter Both yang tiba di Banda pada 26 April
1611 dengan 11 armadanya dan kemudian menjadi Gubemur Jenderal Banda pertama,
memandang perlu untuk mendirikan benteng (Fort) Belgica tersebut. Menurut
Benteng itu dinamakan Fort Belgica oleh Pieter Both untuk mengenang daerah kelahirannya
di Belgia (Flams).
Letak benteng itu sangat strategis, memudahkan orang
Belanda mengadakan pengawasan ke segala penjuru Kepulauan Banda. Di tengah
halaman Fort Belgica terdapat sebuah sumur dan terowongan bawah tanah yang
berhu bungan langsung dengan Fort Nassau yang terletak di tepi pantai Neira.
Dibangun dengan bahan-bahan alam yang ada di tanah Banda Neira dan didesain
menurut selera dan teknik bangsa Belanda pada masa itu, sehingga jadilah Fort
Belgica seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Akhirnya, silakan berkunjung dan menikmati sendiri
keindahan taman laut Pulau Banda dan tentunya jangan lupa untuk menyaksikan
kemegahan Fort Belgica ya…….
Sumber : Dari
berbagai sumber.
No comments:
Post a Comment