JAKARTA- Kategorisasi sekolah di Indonesia menjadi tiga, yaitu sekolah standar nasional (SSN), rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), dan sekolah bertaraf internasional (SBI), yang diatur dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SPN) Nomor 20 tahun 2003 Pasal 50 perlu dikaji dan ditata kembali.
Pengotak-kotakan status sekolah yang dilakukan pemerintah dalam praktiknya menciptakan penggelembungan biaya pendidikan secara umum.
Predikat mentereng yang membagi-bagi status institusi pendidikan di Indonesia tersebut dalam praktiknya membuat biaya pendidikan semakin tinggi, tidak hanya bagi masyarakat kelas menengah ke atas, tetapi juga menengah ke bawah.
Dampak negatif ini mengemuka, terutama pada sekolah-sekolah berstatus RSBI yang membagi para siswa ke dalam dua kelas, reguler dan internasional. Demi mengembangkan fasilitas serta sarana-prasarana murid-murid kelas internasional, teman-teman mereka di kelas reguler dibebankan biaya-biaya tambahan yang memberatkan. Terlebih, tidak semua siswa kelas reguler berasal dari keluarga berada.
Seperti yang terjadi di SMPN 216 Jakarta yang berstatus RSBI. Intan Fahmi, salah satu orang tua murid dari kelas reguler, mengeluhkan banyaknya 'tagihan' dari sekolah yang dibebankan kepada mereka demi menyokong kelas internasional.
"Saya dan orang tua murid lainnya sempat dipanggil menghadiri rapat di SMPN 216, Juli 2011 lalu. Diberitahukan bahwa kami harus membayar Rp4,8 juta per tahun karena ada perubahan status sekolah menjadi RSBI. Lalu, ada tagihan Rp1 juta per kelas untuk toilet, Rp1 juta per kelas untuk kolam renang, Rp450 ribu per siswa untuk penggantian lantai kelas, dan masih ada beberapa (biaya) lagi," keluhnya, saat ditemui wartawan, Jumat (6/4), di Jakarta.
Padahal, sambungnya, sebelum beralih status menjadi RSBI, SMPN 216 bebas dari sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) layaknya sekolah negeri pada umumnya.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan, pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
Namun, pada kenyataannya masih banyak masalah yang melingkupi transformasi sekolah-sekolah SSN menuju RSBI. Beberapa pihak, seperti Koalisi Anti-Komersialisasi Pendidikan (KAKP) bahkan telah mengajukan judicial review UU SPN kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Maret.
Kabar teranyar, pada Rabu (11/4) mendatang, MK akan menggelar kembali judicial review dengan agenda pleno mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon dan pemerintah.
Lebih lanjut, Rama Sulaeman, orang tua murid sekolah bertaraf RSBI, SMAN 22 Jakarta Timur. Para orang tua murid dari kelas reguler, akunya, kerap dimintai pihak sekolah uang untuk kebersihan AC dan penghijauan. Namun, menurutnya aliran dana tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Anak-anak masih sering kepanasan di kelas karena AC tidak dinyalakan dan sejak dipasang, ternyata AC tidak pernah dicuci. Padahal itu ada di rincian tagihan,” imbuh Rama, saat diwawancarai di Jakarta belum lama ini.
Tak berhenti sampai di situ, ditemukan juga sekolah berstatus RSBI yang mengintimidasi demi mendapatkan sokongan dana.
Hal ini menciptakan ketakutan tersendiri bagi masyarakat kelas bawah untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dengan embel-embel RSBI, meskipun sang anak secara akademis mampu masuk ke dalam sekolah tersebut.
"Orang miskin cenderung tidak daftar ke RSBI karena secara psikologis mereka pikirannya sudah dihambat, mengetahui biaya di sana mahal dan sekolahnya dipenuhi anak-anak orang kaya," sebut salah seorang perwakilan Aliansi Orang Tua Murid yang hadir dalam acara Testimoni Guru Terkait Implementasi RSBI di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Kamis (5/4) lalu.
Pengotak-kotakan status sekolah yang dilakukan pemerintah dalam praktiknya menciptakan penggelembungan biaya pendidikan secara umum.
Predikat mentereng yang membagi-bagi status institusi pendidikan di Indonesia tersebut dalam praktiknya membuat biaya pendidikan semakin tinggi, tidak hanya bagi masyarakat kelas menengah ke atas, tetapi juga menengah ke bawah.
Dampak negatif ini mengemuka, terutama pada sekolah-sekolah berstatus RSBI yang membagi para siswa ke dalam dua kelas, reguler dan internasional. Demi mengembangkan fasilitas serta sarana-prasarana murid-murid kelas internasional, teman-teman mereka di kelas reguler dibebankan biaya-biaya tambahan yang memberatkan. Terlebih, tidak semua siswa kelas reguler berasal dari keluarga berada.
Seperti yang terjadi di SMPN 216 Jakarta yang berstatus RSBI. Intan Fahmi, salah satu orang tua murid dari kelas reguler, mengeluhkan banyaknya 'tagihan' dari sekolah yang dibebankan kepada mereka demi menyokong kelas internasional.
"Saya dan orang tua murid lainnya sempat dipanggil menghadiri rapat di SMPN 216, Juli 2011 lalu. Diberitahukan bahwa kami harus membayar Rp4,8 juta per tahun karena ada perubahan status sekolah menjadi RSBI. Lalu, ada tagihan Rp1 juta per kelas untuk toilet, Rp1 juta per kelas untuk kolam renang, Rp450 ribu per siswa untuk penggantian lantai kelas, dan masih ada beberapa (biaya) lagi," keluhnya, saat ditemui wartawan, Jumat (6/4), di Jakarta.
Padahal, sambungnya, sebelum beralih status menjadi RSBI, SMPN 216 bebas dari sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) layaknya sekolah negeri pada umumnya.
Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan menyebutkan, pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.
Namun, pada kenyataannya masih banyak masalah yang melingkupi transformasi sekolah-sekolah SSN menuju RSBI. Beberapa pihak, seperti Koalisi Anti-Komersialisasi Pendidikan (KAKP) bahkan telah mengajukan judicial review UU SPN kepada Mahkamah Konstitusi (MK) sejak Maret.
Kabar teranyar, pada Rabu (11/4) mendatang, MK akan menggelar kembali judicial review dengan agenda pleno mendengarkan keterangan saksi ahli dari pemohon dan pemerintah.
Lebih lanjut, Rama Sulaeman, orang tua murid sekolah bertaraf RSBI, SMAN 22 Jakarta Timur. Para orang tua murid dari kelas reguler, akunya, kerap dimintai pihak sekolah uang untuk kebersihan AC dan penghijauan. Namun, menurutnya aliran dana tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.
"Anak-anak masih sering kepanasan di kelas karena AC tidak dinyalakan dan sejak dipasang, ternyata AC tidak pernah dicuci. Padahal itu ada di rincian tagihan,” imbuh Rama, saat diwawancarai di Jakarta belum lama ini.
Tak berhenti sampai di situ, ditemukan juga sekolah berstatus RSBI yang mengintimidasi demi mendapatkan sokongan dana.
Hal ini menciptakan ketakutan tersendiri bagi masyarakat kelas bawah untuk menyekolahkan anaknya di sekolah dengan embel-embel RSBI, meskipun sang anak secara akademis mampu masuk ke dalam sekolah tersebut.
"Orang miskin cenderung tidak daftar ke RSBI karena secara psikologis mereka pikirannya sudah dihambat, mengetahui biaya di sana mahal dan sekolahnya dipenuhi anak-anak orang kaya," sebut salah seorang perwakilan Aliansi Orang Tua Murid yang hadir dalam acara Testimoni Guru Terkait Implementasi RSBI di Sekretariat Indonesia Corruption Watch, Kalibata, Kamis (5/4) lalu.
Sumber : http://www.mediaindonesia.com
No comments:
Post a Comment