Heboh tentang “istri simpanan” pada pekan ini, menyita
banyak perhatian. Mulai dari orang tua,
pemerhati pendidikan, praktisi pendidikan, lembaga-lembaga yang bergerak dalam
dunia pendidikan dan tenaga pendidik, Dinas Pendidikaan DKI Jakarta. Bahkan
pengendali tertinggi dunia pendidikan di negeri tercinta ini, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Siapa sebenarnya “istri simpanan” yang
dipermasalahkan? Dan milik siapa “istri simpanan” tersebut??? (sampai ribut nggak ketulungan sih….)
E…. ternyata, e… ternyata, wanita yang menjadi istri
simpanan itu bernama Patme, seorang selebriti kah dia??? Koq sempat membuat
heboh, bisa jadi cantik nih…. Goyang pinggulnya pasti kalahkan Inul sama Jupe….
Benarkah???
Penasaran ya……., baiknya ikuti kisah berikut.
Bang Maman adalah pedagang
buah di Kali Pasir. Bang Maman mempunyai anak perempuan bernama Ijah dan
berkata ingin menjodohkannya dengan Salim anak Pak Darip orang kaya di Kali
Pasir. Tak lama setelah Salim dan Ijah menikah, Pak Darip meninggal dunia. Pak
Darip meninggalkan harta warisan berupa kebun yang sangat luas kepada Salim.
Salim tidak bisa mengurus
kebun peninggalan ayahnya, dan minta Kusen mengurusnya. Istri Kusen mempunyai
rencana jahat, dia meminta suaminya menjual kebun Salim. Setelah kebun dijual
mereka melarikan diri. Salim menjadi miskin, harta warisan ayahnya sudah habis.
Akhirnya Salim berjualan buah di pasar.
Bang Maman mengetahui Salim
telah jatuh miskin. Bang Maman ingin Ijah bercerai dengan Salim, karena Salim
telah jatuh miskin. Ijah tidak mau, biar miskin Ijah tetap setia kepada Salim.
Akhirnya Bang Maman meminta
bantuan kepada Patme supaya berpura-pura menjadi istri simpanan Salim. Patme
setuju atas permintaan Bang Maman. Kemudian Patme datang ke rumah Salim dan
berbicara dengan Ijah. Patme mengaku sebagai istri Salim. Patme dan Ijah
bertengkar. Ijah merasa kecewa dan marah kepada Salim.
Kemudian Salim memberikan
penjelasan kepada Ijah, namun Ijah tidak percaya. Akhirnya Salim pergi
meninggalkan Ijah.
Suatu hari Ijah berkenalan
dengan Ujang. Ujang Adalah seorang perampok yang sudah lama dicari polisi.
Dengan menyamar seperti orang kaya Ujang datang melamar Ijah. Lamaran Ujang
diterima dan akhirnya Ujang dan Ijah menikah.
Pada saat pernikahan
berlangsung datanglah polisi menangkap Ujang dan gentong. Mereka sudah lama
dicari polisi karena sebagai perampok. Namun Ijah tidak tahu kalau mereka
sebagai perampok. Mereka akhirnya dibawa ke kantor polisi dan Bang Maman
sebagai saksi.
Polisi minta agar semuanya
tenang. Dijelaskan oleh polisi bahwa yang ditangkap itu adalah buronan. Mereka
ditangkap karena sering berbuat jahat. Mereka suka merampok dan menipu.
Akhirnya pesta perkawinan berangsur-angsur bubar.
Sepintas tak ada yang aneh dengan cerita di atas, lalu mengapa sampai bisa menimbulkan
kontroversi?
Kontroversi tentang adanya “istri simpanan” bermula
dari pertanyaan Hana (8) seorang siswa kelas 2 pada SD Angkasa IX Halim,
Jakarta. Ia menanyakan makna “istri
simpanan” pada ibunya. Karena menemukan
istilah tersebut pada LKS Pendidikan Lingkungan Budaya Jakarta yang dibagikan
sekolahnya. Mendapat pertanyaan yang
spontanitas seperti itu membuat Intan (ibunya
Hana) terbelalak. Dan buru-buru
mengalihkan ke masalah yang lain.
Lembaran Kerja Siswa (LKS) terbitan CV Media Kreasi
ini pada salah satu halamannya memuat kisah “Bang Maman Penjual Buah dari Kali
Pasir” yang di dalamnya termuat kata “istri simpanan”. (Kisahnya
seperti termuat di atas)
Gosip tentang adanya “istri simpanan” pada buku LKS
kelas 2 SD pun mulai ramai. Saling menyalahkan
dan lempar tanggung jawab pun terjadi (pastinya
selalu kambing hitam yang dicari, ganti dong sama kambing putih).
Alhasil, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) memanggil CV Media Kreasi terkait tercetaknya
tulisan 'istri simpanan'. Sedangkan Dinas Pendidikan DKI mendiskusikan hal ini
dengan sekolah-sekolah yang ada di Jakarta. CV Media Kreasi selaku penerbit
buku telah menarik buku tersebut per 13 April ini. Pun dengan SD Angkasa IX
yang telah menggunakan buku itu, telah menarik buku yang sudah sampai ke tangan
siswanya.
Apakah hal ini sudah merupakan solusi yang tepat? Bagaimana dengan nasib Hana dan anak
seusianya di seluruh Indonesia yang “dipaksa” dan “terpaksa” untuk memahami
logika orang dewasa?
Menurut Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI),
Retno Listiarti, mengutip penelitian yang dilakukan Universitas Paramadina pada
tahun 2008. Mengambil beberapa sampel
buku seperti agama yakni Islam, Kristen dan Katolik serta buku IPS, IPA dan
Penjaskes untuk kelas 1-5 SD. Ditemukan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Bahan yang berlebihan, dari halaman awal kelas 1 SD
langsung disodorkan teks dengan panjang bacaan mencapai 2 halaman. Padahal anak
kelas 1 belum memiliki kemampuan baca dan memahami teks. Buku agama Islam juga
menuliskan bacaan yang berisi 3 tulisan yakni Arab, Latin dan Indonesia.
2. Penulis menyamakan logika anak-anak dan logika orang
dewasa.
3.
Ilustrasi
gambar yang menyajikan cerita urutannya tidak logis, terkait dengan keseharian
anak.
4.
Menggunakan
sisi intelektual yang terlalu tinggi.
5.
Penulis
membayangkan kemampuan cara berpikir anak yang dianggap punya kemampuan
berpikir orang dewasa.
6.
Tidak
memberi porsi bagi muatan lokal sebagaimana tuntutan kurikulum.
7.
Penulis
tidak mengaitkan materi bacaan dengan kondisi lokal, misal anak di daerah
pesisir harusnya diberi pengetahuan tentang laut.
8.
Bahasa
penuturannya salah.
9.
Tidak
ada rujukan, bahkan cenderung mengarang materi.
Menurut Direktur Institute for Education Reform (IER)
Universitas Paramadina, Utomo Dananjaya menyebut berdasarkan riset 5 tahun lalu
terhadap buku-buku ajar, hasilnya, kebanyakan buku ajar itu kurang bermutu.
"Ada buku tentang olahraga, pendidikan jasmani
yang intinya menganjurkan bahwa anak-anak perempuan SD jangan dekat-dekat
dengan laki-laki nanti bisa hamil. Itu kan tidak cocok untuk anak. Ada juga
buku SD kelas 1, bacaan teks 3 halaman, yang mengarang profesor. Lah anak kelas
1 SD kan baru belajar membaca. Harusnya ya beberapa kalimat saja, seperti 'aku
dan lingkunganku', 'aku dan sekolahku'," jelas Utomo.
Lolosnya buku-buku ajar semacam ini, menurut Utomo,
akibat kurangnya perhatian pada pendidikan di Indonesia. "Kurang perhatian
pada pendidikan kita, pada teknis pendidikan serba kurang, kurang sarananya,
kurang jumlah gurunya, kurang pendidikan gurunya. Kurikulum sudah berubah,
namun belum sampai pada pendidikan guru," jelas Utomo.
Kembali ke masalah “istri simpanan” yang tercetak pada
buku LKS muatan lokal DKI Jakarta dan sempat membuat terhenyak dunia
pendidikan. Lalu, tolong dibandingkan
dengan “Hamil 3 Bulan” lagunya Rita Sugiarto dan “Belah Duren” lagunya Julia
Perez (Jupe). Manakah yang lebih
vulgar? Tentunya lebih vulgar “Hamil 3
Bulan” dan “Belah Duren” dibandingkan “istri simpanan”. Masih kurang yakin, baiklah penulis coba
untuk membeberkan satu bait dari lagu
“Hamil 3 Bulan” dan satu bait dari lagu “Belah Duren”.
“Ku hamil duluan sudah 3
bulan karena pacaran sering gelap-gelapan” dan “Belah
Duren paling asyik di malam hari, apalagi waktu malam pengantin.”
Kedua bait lagu di atas bukan saja tidak pantas
didengar oleh anak seusia Hana (8 tahun), Bahkan untuk orang dewasa seperti
kita pun dirasa kurang pantas. Apalagi,
lagu tersebut disertai dengan desahan-desahan dan goyangan yang mengundang
birahi.
Ke manakah Hana dan orang tuanya selama ini? Sehingga
tidak sempat untuk memprotes lirik-lirik yang terdapat pada ke dua lagu
tersebut. Lalu, kemana pula petinggi
negeri ini yang membiarkan ke dua lagu tersebut beredar luas di tengah
publik. Dimana, fungsi dan keberadaan
lembaga sensor sehingga dengan leluasa ke dua lagu tersebut ‘’nyelonong” melewati pagar pembatas.
Kita lupa betapa efektifnya, si anak belajar ketika
dia mendengar dan melihat, dibandingkan
dengan hanya membaca teks dari suatu buku bacaan. Kita lupa, betapa efektifnya sebuah lagu
menyihir pendengarnya sehingga terbuai dengan alunan musiknya disbanding hanya
membaca teks dari lagu itu. Pernahkah,
kita berpikir anak seusia Hana ketika membaca sebuah teks. Dia sama sekali dan bahkan belum mampu
memahami makna teks dan kalimat yang dia baca.
Namun, ketika dia menyanyikan sebuah lagu dan meniru goyangan artis
hampir sama persis dengan lagu dan goyangan artis tersebut.
Mungkin saja kita semua telah terbuai dengan goyangan
mba Rita dan terlena dengan montoknya payudara si Jupe. Sehingga kita lupa bahwa anak seusia Hana
masih banyak yang berkeliaran di sekitar kita, masih perlu bimbingan dan arahan
kita. Dan tentunya harus bebas dari suguhan-suguhan yang tak bermoral dan
mengumbar birahi.
Masih banyak carut-marut masalah pendidikan yang harus
segera dibenahi, daripada hanya sekedar mengurus “istri simpanan” si Salim yang
ada pada sebuah teks cerita.
Semoga tulisan ini dapat memberikan pencerahan dan menyadarkan
kita semua akan pentingnya fungsi dan manfaat pendidikan bagi anak-anak
kita.
No comments:
Post a Comment