Sunday, June 9, 2013

Mewaspadai Politisasi Agama

Oleh: Fatimah Kilwo, Penyuluh Agama Islam Kemenag Kota Ambon.

Politik dalam arti yang luas adalah ilmu tentang tatakrama berbangsa dan bernegara, atau ilmu yang mempelajari tentang pemerintahan dan kerakyatan.

Bahwa politik itu memiliki fatsun, etika, kesopan santunan dalam berbangsa dan bermasyarakat. Sedangkan etika dan kesopansantunan itu bersumber dari ajaran agama. Ajaran agama adalah sesuatu yang sakral, suci dan tidak boleh dilumuri oleh kebohongan dan kepalsuan. Sebagaimana dalam ajaran agama Islam, Rasul Muhammad SAW adalah seorang pemimpin politik dan pemimpin negara sekaligus sebagai pemimpin spiritual.

Fakta sejarah dan kondisi kekinian menjadi bukti bahwa politik telah melenceng dan menyempal dari tujuan utamanya tentang kepemimpinan dan kerakyatan. Sangat banyak para politisi mengejar impian dengan bersampul agama dan atas nama agama. Simbol-simbol agama dipakai untuk memuluskan program partai politik tetapi apakah hal semacam ini dapat di benarkan? 

Jika dalam implementasinya ternyata politik di pakai untuk memecah belah, membangun fanatisme primordial, membangun kesukuan, menyalahkan lawan politik, membenarkan diri sendiri, memberikan janji-janji, menggunakan firman-firman Tuhan yang suci, membawa-bawa nama Tuhan yang agung, maka tidak dapat dibenarkan.

Seorang penulis berkebangsaan Inggris, Nicolo Machiavelli telah berlalu ratusan tahun lalu namun teorinya tentang kepemimpinan dan pemerintahan masih saja relevan dengan perkembangan zaman saat ini. Dimana penggunaan kekerasan dan penghalalan segala cara masih efektif di pakai dalam mengejar ambisi. Politik uang adalah bagian dari cara yang ditawarkan Machiavelli. Walaupun politik uang dilarang namun sangat jelas terlihat bahwa cara ini adalah sebuah gerakan bawah tanah yang sulit dimusnahkan. Machiavelli sendiri tidak setuju dengan tawarannya ini, akan tetapi menurutnya beginilah para politisi dan pemimpin menggapai impian.

Hal ini terjadi karena sudah ada interpretasi tentang politik sebagai dunia yang kotor, penuh kecurangan, intrik, spekulasi dan manipulasi. Sebagai sebuah dunia yang keras, tentu sangat butuh kepiawaian karena persaingan selalu tidak sehat jika para politisi ini bertemu apalagi jika para pesaing sama-sama berambisi. Maka cara-cara “haram” mulai di gunakan, mulai dari pemanfaat komunitas agama, lembaga agama, rumah ibadah, tokoh agama dan agama juga di pakai sebagai ikon dalam memenangkan kompetisi. 

Apalagi dijaman kemajuan HAM dan demokrasi saat ini politik selalu berkonotasi kekuasaan, memimpin dengan berbagai cara yang penting sukses. Karena itu politik diartikan sebagai dunia yang kejam, maka tak jarang kita dengar kata-kata “Tidak ada teman sejati tidak ada lawan sejati yang ada hanyalah kepentingan” atau “politik bisa berubah dalam hitungan menit” nyaris tidak ada komitmen, tidak perlu istiqomah, teguh pendirian, yang ada hanya kepentingan!

Menurut sebagian orang , sistem orde baru sangat bagus karena selain pemilihan bertingkat dimana rakyat hanya memilih anggota legislatif dan anggota legislatif memilih presiden, gubernur, bupati dan wali kota, sistem ini lebih hemat biaya, terjamin keamanan, lebih praktis dan hemat waktu. Walaupun orde baru adalah pemerintahan otoriter tertutup dan kejam (banyak kasus kekerasan dan pelanggaran HAM) namun dijaman orde baru kompetisi dalam jabatan politik berjalan lembut dan lebih santun. Walaupun rakyat tidak pernah mengenal bupati, gubernur bahkan presiden. Hampir tidak ada money politics, ruginya dalam sistem ini partisipasi berdemokrasi rendah, kran kebebasan demokrasi ditutup rapat.

Politik yang Bermartabat

Adapun zaman reformasi pada saat pemilukada, dan pilpres, suara rakyat begitu berharga, rakyat sangat dihormati karena suara rakyat sangat mahal. Itu sebabnya para politisi yang punya kepentingan harus turun gunung, merayu, membujuk, mengemis suara rakyat, dari desa ke desa dari kampung ke kampung dari pulau ke pulau.

Mereka menggelar ibadah bersama, doa bersama, dan kegiatan keagamaan lainya, untuk mencari perhatian rakyat. Organisasi-organisasi keagamaan “dibeli”, simbol-simbol keagamaan (kitab-kitab suci, rumah ibadah, pendidikan keagamaan, lembaga keagamaan,organisasi keagamaan, tokoh-tokoh agama) dipakai untuk menarik masa, gerakan-gerakan keagamaan di bangun, tokoh pemuda, tokoh perempuan, tokoh masyarakat dan tokoh agama dirangkul untuk mengejar ambisi. Tawaran bantuan untuk rumah ibadah, sekolahan, fasilitas umum mengalir, bahkan janji-janji politikpun diumbar, untuk meraih impin.

Semua jalan ini “halal” manakala tidak menjatuhkan korban politik karena ketika gagal maka komunitas, simbol keagamaan itu hilang pamor dan kewibawaan. Begitu pula ketika telah mencapai keinginannya maka dia akan melupakan jasa dan budi baik dari para pendukungnya yang telah membesarkannya, termasuk simbol agama yang telah dipakai.

Mengapa simbol-simbol agama sangat efektif dalam perolehan dukungan? Karena agama sangat bersentuhan dengan sendi pribadi seseorang. Agama adalah keyakinan yang bersemayam di dasar kalbu, maka agama sangat peka untuk dihadirkan dalam setiap dimensi kehidupan. Pemaknaan agama dalam setiap gerak hidup manusia adalah sebuah pilihan pasti untuk menggapai hidup agar lebih bermartabat. Karena itu simbol-simbol agama sangat peka untuk mempengaruhi orang. Dari sinilah para guru mengajarkan kepada kita agar agama dan simbolnya jangan digunakan sembarangan. Apalagi sampai dijadikan sangat murah untuk kepentingan politik sesaat. Agama adalah sesuatu yang suci, sakral maka simbol agama di tempatkan pada derajat tertinggi, agama dan simbol agama jangan dipolitisasi! Partai agama yes! 

Indonesia adalah sebuah negara nasionalis yang sangat religius, sangat agamis, karena itu ada kementerian agama, bahkan mungkin satu-satunya negara di dunia ini yang punya kementerian agama, yang diberi kewenangan untuk mengurus sebagian tugas-tugas pemerintahan di bidang keagamaan. Karena itu jika ada partai agama hal ini adalah wajar, karena negara merestui dan mengakui enam agama besar.

Sangat wajar kalau tumbuh dan berkembang partai politik yang berazaskan agama namun agama tidak boleh dicampur adukan dengan politik. Begitu pula sebaliknya, agama pun tidak melarang orang berpolitik ketika politik itu adalah tentang kenegaraan dan kemasyarakatan. Namun agama melarang seseorang berpolitik ketika itu berhubungan dengan kecurangan dan manipulasi, ketika berpolitik itu menghalalkan segala cara.

Kampanye bermutu

Saya mengikuti kampanye pilgub selama kampanye digelar, baik di media maupun menyaksikan langsung.  Menurut saya betapa rendahnya martabat politik para jurkam yang hanya mencari tahu kelemahan dan kegagalan lawan politik. Mereka hanya bisa mengkritisi, menghujat dan menjelek-jelekan lawan politik, sebaliknya mereka tidak mampu menyajikan kampanye yang bermutu, berbobot dan ilmiah. Mereka tidak menjelaskan visi misi dan rencana serta program unggulan yang akan mereka lakukan, mereka tak pandai dalam orasi, bahkan kampanye terkesan seperti para politisi jalanan berdemonstrasi.

Tetapi harus diakui bahwa ada kandidat gubernur yang berkampanye dengan fatsun politik, selain ilmiah, singkat dan padat, ketika menjelaskan rencana dan visi misi, tidak sedikitpun menjelekan dan mengkritisi kandidat lain. Tidak mengumbar janji kecuali berjanji kepada massa pendukungnya bahwa mandat yang diberikan kepadanya akan diteruskan dan tidak akan mengecewakan rakyat, apalagi sampai mempermalukan pendukung. Bahwa mandat yang diberikan partai politik kepadanya adalah berdasarkan pertimbangan dan kajian yang matang.

PNS dan Politik

Ada kebingungan dan ketakutan dikalangan pegawai negeri sipil (PNS) dalam pesta demokrasi (perhelatan pemilihan gubernur malaku) saat ini, tentang keterlibatan PNS dalam pilgub. Sesungguhnya aturan sudah jelas bahwa PNS tidak boleh terlibat dalam politik praktis, yakni tidak boleh berkampanye, dan tidak boleh duduk dalam pimpinan harian partai politik, tetapi sekedar menghadiri kampanye di bolehkan. PNS boleh menghadiri kampanye agar mereka bisa mendengar program dan rencana calon pemimpinnya, jadi tidak asal memilih. Menghadiri kampanye adalah salah satu upaya pencerdasan politik, jadi tidak ikut-ikutan. Karena memberikan suara dalam pemilihan adalah bentuk partisipasi dalam berdemokrasi. Hal terpenting adalah seorang PNS bisa menempatkan diri sebagai golongan non partisan (non partai politik).

Sumber : ambonekspres.com telah diedit oleh admin.

No comments:

Post a Comment