Wednesday, June 5, 2013

Leader Without Leadership

Leader without leadership
Leader without leadership

Oleh Asep Sapa'at 
(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Naas, seorang bergelar kepala sekolah (kepsek) diciduk aparat karena diduga sebagai pengguna narkoba. Pucuk pimpinan tertinggi di institusi pendidikan bersahabat dengan narkoba, sebuah anomali yang sulit dipahami. Sungguh sangat keterlaluan. 

Berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah pemakai narkoba dilihat dari pekerjaannya, yakni penganggur (65 persen), pegawai swasta (20 persen), pedagang (10 persen), dan pelajar (4 persen). Meski berada di peringkat keempat, tapi bayang-bayang kehancuran generasi masa depan sangat nyata di depan mata.

Hal ini mesti diwaspadai serius. Faktor pergaulan disinyalir mampu menyebabkan pelajar mengonsumsi narkoba. Seorang anak menggunakan narkoba karena diajak teman, polanya seperti itu. Ganja paling banyak dikonsumsi karena harganya murah dan terjangkau para pelajar. Jangan-jangan para pengedar narkoba sudah punya program NMS, Narkoba Masuk Sekolah. 

Sehebat apapun aksi pengedar narkoba hendak menghancurkan pelajar kita, mereka akan luar biasa kerepotan jika ada sistem sekolah yang efektif menangkal upaya tersebut. Kita tak boleh lupa, di sekolah ada sosok yang punya peran maha penting, dialah kepala sekolah. 

Pemimpin yang punya visi arahkan sekolah menuju kebaikan atau kehancuran. Tegas atau plin plan, keteguhan sikap yang bakal diuji sepanjang masa dia memimpin. Mesti ada visi dan aksi yang berpadu menjadi satu. Tanpa perpaduan visi dan aksi, mustahil cita-cita sekolah cegah aksi narkoba bakal terwujud.

Jika pelajar di suatu sekolah diserang pengedar narkoba, coba tebak apa yang ada di pikiran kepsek mereka? Jika ada kepsek tak anggap serius persoalan ini, institusi memang telah salah rekrut. Jika ada kepsek yang sangat concern mengatasi masalah narkoba, sungguh-sungguhkah dia berani menyatakan diri jadi musuh nomor wahid bagi pengedar narkoba yang hendak merangsek ke sekolah? 

Soal yang sangat tak mudah untuk tak mengatakan super sulit. Mudah dan sulit akhirnya jadi sesuatu yang relatif, pokok persoalan terletak pada komitmen dan konsistensi kepsek untuk memerangi narkoba.

Bicara soal upaya penyelamatan pelajar dari narkoba, kita mesti punya strategi bersifat komprehensif. Bisa jadi rancangan program sudah dibuat dan dinilai baik secara konseptual. Tapi jika dipraktikkan secara asal-asalan, tak terintegrasi, dan tak berkesinambungan, ibarat menggantang asap saja. Tak akan jelas pangkal ujung ceritanya. 

Aturan main mesti tegas dan jelas. Sistem reward dan punishment berfungsi efektif untuk menegaskan sikap sekolah yang anti-narkoba. Penting dan tak boleh diabaikan, sikap gagah berani kepsek menolak segala bujuk rayu dan intimidasi berbagai pihak yang mendesain kehancuran anak-anak bangsa lewat pengaruh narkoba di sekolahnya.

Program anti-narkoba bisa dirancang sesegera mungkin. Namun, bagaimana program ini berlangsung secara kontinyu dan menyadarkan seluruh warga sekolah akan bahaya narkoba, inilah tantangan terberat bagi seorang kepsek. Pemimpin yang baik adalah yang selalu bisa temukan dan pecahkan masalah. 

Pemimpin yang terbaik adalah yang bisa mengajak dan bahkan membakar anggota tim untuk bersama-sama pecahkan masalah. Pemimpin dari segala pemimpin yang terhebat adalah yang bisa mengondisikan semangat tim, merangsang tanggung jawab tim untuk melakukan apa yang harus mereka lakukan dalam menyelesaikan masalah apapun, dimanapun, dan kapanpun. Dalam upaya memerangi narkoba, kita sangat butuh pemimpin dari segala pemimpin yang terhebat.

Sebagai pemimpin sekolah, beranikah dia memecat anaknya sendiri andai terbukti terlibat narkoba? Cukup bertajikah dia memecat oknum guru yang menyembunyikan kasus narkoba muridnya? Seberapa mampu dia tolak uang berlimpah dari pengedar narkoba untuk memuluskan aksinya di lingkungan sekolah? Tanpa nurani, kepsek sangat mungkin akan goyah prinsip hidupnya. Alih-alih mengamankan generasi penerus bangsa dari terjangan narkoba, eh bisa jadi malah jerumuskan aset masa depan bangsa lewat praktik kerja yang terlembagakan. Biadab itu namanya. 

Akhirnya, program hanyalah sekadar program. Tapi, tanpa sikap kepemimpinan yang tangguh dari sang kepsek, semuanya jadi basa-basi saja. Kita tentu berharap, dari seorang pemimpin sekolah yang punya hati nurani, akan lahir ide-ide cerdas program penangkalan narkoba di sekolah. Runtuhlah segala harapan, hati saya geram bukan kepalang ketika mata saya tertuju pada judul sebuah berita ‘Bawa Narkoba, Kepsek SMAN 8 Tangerang akan Dicopot’ (Republika Online, 28 Mei 2013). Saya kehabisan kata-kata. “Ini perilaku seorang perusak, bukan pemimpin”, rutuk kata hati saya.

Mana bisa seorang pengguna narkoba jadi orang nomor satu di sekolah? Cara berpikir dan cara berperilakunya sangat berbahaya dan mengancam seluruh warga sekolah setiap waktu. Acara mencopot yang bersangkutan dari jabatannya, itu persoalan gampang. Tapi, adakah sistem pengawasan kinerja dan perilaku kepsek dari level dinas pendidikan Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai level Kemdikbud? Pertanyaan super serius yang layak ditujukan kepada para pemimpin dari seorang individu yang menjabat di SMAN 8 Tangerang. Ingat, ini bukan persoalan individu semata. 

Sistem yang menaungi aktivitas kepsek SMAN 8 Tangerang juga perlu dievaluasi total. Memang, perkara mencari kambing hitam dan mencopot jabatan selalu lebih mudah ketimbang menemukan solusi jitu yang berdampak sistemik terhadap perbaikan di masa mendatang. Besok lusa jabatan bisa segera dicopot. Pergantian jabatan bisa segera dilakukan. Tapi, siapa bisa jamin esok hari takkan pernah ada lagi kepsek tak bermoral memimpin sekolah? 

Sungguh, tugas guru dan kepsek adalah perbaiki akhlak murid. Lantas, siapa yang perbaiki akhlak guru dan kepsek? Hanya pemimpin yang punya hati nurani saja yang bisa jawab pertanyaan ini dengan penuh keyakinan. Leader without leadership itu soal kita. Leader with leaderless, itu memang masalah kita.

No comments:

Post a Comment