Tuesday, February 5, 2013

Korupsi Politik Kepala Daerah

Oleh : Arista Junaidi

Semenjak kran Desentralisasi terbuka di Indonesia lewat Undang-undang No 22 Tahun 1999, dirubah menjadi UU No. 32 tahun 2004. UU No. 25 Tahun 1999, kini menjadi UU No. 33 Tahun 2004, setiap Kepala Daerah (Gubernur,Walikota atau Bupati) mendapatkan kewenangan yang besar untuk mengurusi, mengatur dan mengelola birokrasi Pemerintahannya masing-masing. Otorisasi Pemimpin Daerah lewat payung UU Otonomi Daerah, diharapakan dapat menciptakan kemandirian, meningkatkan pembangunan, serta kesejahteraan masyarakat.

Namun, insentif politik desentralisasi yang besar dari Pemerintah Pusat, ternyata membuahkan persoalan bagi sistem dan tata kelola Pemerintahan Daerah itu sendiri. Mengapa ? karena pemberian Desentralisasi Pemerintah Daerah, ternyata diikuti pula oleh persoalan korupsi yang juga semakin terdesentralistik. Trend korupsi yang dulunya hanya dimonopoli oleh Pemerintah Pusat, kini bergeser hingga ke Pemerintah Daerah.

Dari segi sistem politik pemerintahan (political system of government), fenomena korupsi para Kepala Daerah, haruslah dilihat sebagai koreksi terhadap lemahnya mindset sistem politik Pemerintahan Desentralisasi. Para Kepala Daerah yang secara otomatis menjadi “raja-raja kecil” dalam catur Pemerintahan Daerah, tanpa sadar didorong melakukan korupsi, demi menutupi political cost yang telah dikeluarkan, saat berkompetisi dalam proses Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).

Karena UU No 32 Tahun 2004 menghendaki setiap Kepala Daerah; Gubernur dan wakil Gubernur, Walikota dan Wakil Walikota atau Bupati dan Wakil Bupati dipilih langsung oleh masyarakat, maka jabatan kepala daerah menjadi begitu sangat mahal, bagi siapapun yang ingin menjadi calon Pemimpin di Daerahnya. Mahalnya jabatan Kepala Daerah itulah, yang membuat mereka (baca: Kepala Daerah) terdesak untuk memanfaatkan posisi jabatannya melakukan tindak pidana korupsi.

Pengamat politik LIPI, Ikrar Nusa Bhakti (2013) mengemukakan, persoalan ini terjadi karena biaya Pemilihan Umum Kepala Daerah yang mahal, mencapai miliaran atau bahkan puluhan miliar rupiah. Menurutnya, bagi Kepala Daerah yang tidak memiliki dana cukup, posisi Kepala Daerah akan menjadi sebuah tahta untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Kepala Daerah dapat memanfaatkan celah-celah hukum dan lemahnya kontrol pusat dengan melakukan korupsi. 

Bahkan, korupsi juga sudah terjadi pada saat pilkada. Para kandidat, baik penantang ataupun petahana, pada saat kampanye Pemilukada sudah melakukan praktik-praktik korupsi politik, yaitu dengan sistem “ijon”. Model ini berupa kandidat mendapatkan dana kampanye dari para penyumbang dana yang mengharapkan akan mendapatkan proyek atau order bisnis, apabila kandidat yang didanainya memenangi pilkada.

Masih menurut Ikrar, dalam teori politik, hal seperti ini disebut “bribe and kick back”, yaitu calon Kepala Daerah disogok terlebih dahulu dan ketika dia terpilih menjadi Kepala Daerah, akan ada umpan balik kepada para penyandang dananya dalam bentuk kemudahan-kemudahan dalam memperoleh proyek atau izin proyek. Selain itu menurutnya, model korupsi lainnya adalah dalam bentuk mark up APBD dan melakukan pungutan liar (pungli).

Sistem politik Indonesia memang menghendaki pembiayaan politik yang begitu mahal, hal ini disebabkan karena tidak adanya limit spending (batasan pengeluaran) setiap calon kepala daerah yang akan bertarung dalam event politik. Beda misalnya di Amerika Serikat, yang pengeluaran dana kampanye setiap calon Presiden atau Kepala Daerah diatur dalam peraturan perundangan, sehingga semua calon Kepala Daerah mendapatkan porsi yang sama dalam memaksimalkan potensi biaya kampanyenya – berapapun besar dana kampanye calon yang bertarung, tetap mempunyai limitatif pengeluaran atau limit spending.

Di Indonesia, hanya diatur seberapa besar setiap calon Presiden atau Kepala Daerah menerima sumbangan dari pihak ketiga (funding), tapi tidak diatur limit spending kampanye politiknya, sehingga memunculkan disparitas political cost calon Presiden atau Kepala Daerah. Bahayanya, calon Kepala Daerah yang tidak cukup financial capitalnya akan terkena jebakan bribe and kick back.

Korupsi Politik di Maluku

Teori politik bribe and kick back, juga tampak pada setiap proses penyelengaraan politik di Maluku. Pembiayaan politik yang besar menyebabkan beberapa Kepala Daerah di Maluku terindikasi telah melakukan korupsi politik, yaitu menyalahgunakan kewenangannya (abuse of power) untuk mengeruk kas Negara; PAD, APBD, DAU, DAK, agar dapat mengembalikan modal kampanye, serta memperkaya diri sendiri atau keluarga, partai dan kelompok politiknya. Tanpa perlu diperinci, siapa-siapa calon Kepala Daerah di Maluku yang saat ini sedang berurusan atau dalam incaran lembaga penegak hukum karena terindikasi korupsi.

Masyarakat bisa menilai bagaimana setiap Kepala Daerah berubah menjadi orang “kaya baru” dalam jangka waktu yang terhitung singkat, saat menjabat Gubernur, Walikota atau Bupati. 
Padahal sesuai Keputusan Presiden (Keppres) No. 68 Tahun 2001, tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara tertentu, gaji pokok Gubernur hanyalah Rp. 3 Juta, ditambah tunjangan jabatan Rp. 5,4 Juta (lihat: Keppres No 59 Tahun 2003, Tentang Tunjangan Jabatan bagi Pejabat Negara di Lingkungan Lembaga Tertinggi atau Tinggi Negara). Total pendapatan seorang Gubernur hanyalah Rp. 8, 4 juta per-bulan. Begitupun dengan pendapatan Wakil Gubernur, Walikota, Wakil Walikota atau Bupati, Wakil bupati yang tidak jauh berbeda. Terlepas dari adanya isentif khusus yang diberikan Negara kepada jabatan Kepala daerah tersebut, sesuai dengan tugas kenegaraannya.

Hal seperti inilah yang membuat konsep good and clean government tidak akan dapat terimplementasi secara baik pada setiap level Pemerintahan di Maluku. Sebab birokrasi Pemerintahan Daerah tidak secara efektif digerakan untuk melayani masyarakat, dan orientasi keuangan daerah tidak ditujukan untuk meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), mempercepat laju pembangunan dan perluasan akses lapangan kerja, namun dibelokan untuk tujuan-tujuan yang lain.

Dalam laporan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), pada tahun 2011, Maluku masuk sebagai Provinsi terkorup peringkat ke – 18 di Indonesia, dengan potensi kerugian Negara mencapai Rp. 47.850.610.000, terdiri 326 kasus dari tahun 2005-2011. Hal ini berdasarkan pada ikhtisar hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun 2011. (Sumber: http://www.merdeka.com).

Momentum Pemilihan Gubernur Maluku

Laporan FITRA soal Provinsi terkorup tersebut, merupakan fakta buruknya kualitas para Kepala Daerah di Maluku. Strong leadership (Kepemimipnan yang kuat) yang berorientasi pelayanan masyarakat dan bebas korupsi, masih menjadi barang langkah pada jabatan Gubernur, Walikota atau Bupati. Tradisi rent-seeker dan orientasi kekuasaan sangatlah kuat melekat pada diri Kepala Daerah di Maluku. Ini terlihat, dari beberapa nama kandidat calon Gubernur Maluku adalah bupati yang masih terhitung aktif masa jabatannya.

Memang secara legal-formil, tak ada batasan seorang Kepala Daerah untuk mencalonkan diri pada jabatan politik ditempat lain atau diatasnya, UU No. 32 Tahun 2004 hanya mengatur soal batas periodeisasi, dan perizinan cuti bagi kepala daerah yang sedang berkampanye politik. 

Namun hal ini berpotensi terjadi abuse of power, yaitu mengerakan mesin birokrasi untuk tujuan politik (baca: politisasi-birokrasi), jika Walikota atau Bupati aktif mencalonkan diri pada jabatan politik yang lebih tinggi seperti Gubernur di daerah Provinsinya. (Kedepan Revisi UU No 32 Tahun 2004, diusulkan untuk mengatur soal masa bakti Kepala Daerah yang harus diselesaikan).

Masyarakat sebagai stack holder Pemerintahan, harus mampu menjadikan Pemilihan Gubernur Maluku sebagai momentum “bersih-bersih” Maluku dari Kepemimpinan yang korup. Setiap calon Kepala Daerah Maluku yang nantinya akan tampil harus diuji secara kritis (critical examination). Jika ada calon Kepala Daerah yang terbukti selama menjadi Pemimpin Daerahnya tidak mampu berbuat banyak untuk masyarakat, dan hanya memperkaya pribadi, kelompok dan partai politiknya, maka jangan pernah memilhnya.

Jika perlu, teori kontrak Sosial-nya John Locke harus dipakai oleh masyarakat Maluku. Agar setiap calon Gubernur Maluku dan calon wakil Gubernur yang terpilih merasa akan terus dikontrol lewat kontrak sosial yang telah dibuat dengan masyarakat. Sehingga betapapun mahalnya ongkos politik yang telah dikeluarkan oleh setiap calon Kepala Daerah, tindakan korupsi politik tidak mudah terjadi saat berkuasa. Masyarakat mampu mengawasi, dan memberikan reward and punishment kepadanya. Wallahualam. (*)

Sumber : http: www.ambonekspres.com

No comments:

Post a Comment