Thursday, May 2, 2013

Masih Muliakah Profesi Guru?



“Terpujilah wahai engkau, ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan ku ukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti trima kasihku tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa”

Bila kita menyimak satu persatu syair lagu hymne guru seperti tersaji diatas tentunya judul seperti diatas mungkin akan terjawab dengan sendirinya.  Ya, tentunya betapa mulianya profesi guru.  Namun bila kita memperhatikan kondisi terkini dari perjalanan pendidikan di Indonesia tentunya tak salah bila judul diatas perlu dibahas tuntas.

Pertanyaan menggelitik yang dijadikan judul dari tulisan ini coba saya angkat bukan karena tanpa alasan. Tentunya dengan memperhatikan kondisi kekinian dari profesi guru itu sendiri.

Guru yang selama ini dianggap profesi mulia oleh banyak orang justru dirusak oleh oknum-oknum guru itu sendiri.  Tulisan ini tidaklah bermaksud ingin mendiskreditkan posisi guru sebagai “pesakitan” yang harus didakwa dengan berbagai macam ancaman hukuman.  Tidak juga bermaksud untuk mencari-cari kesalahan orang per orang. Tetapi semata-mata bermaksud untuk mencari solusi terhadap permasalahan profesi guru yang maaf telah berubah menjadi profesi “bisnis”.  Profesi yang lebih mementingkan untung rugi dari sebuah pekerjaan.  Profesi yang tidak lagi didasari dengan moral tetapi telah diracuni dengan syahwat dan nafsu ingin berkuasa dan menguasai yang lain.

Guru dan permasalahannya.

Sadar atau tidak dengan keluarnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, profesi guru telah disejajarkan dengan dokter, advokat, jaksa, hakim, notaris dan lainnya yang memiliki legalitas hukum.  Karena telah memiliki legalitas hukum tentunya keberadaan guru telah diakui oleh pemerintah sebagai profesi yang layak dan perlu dihargai.

Hal ini pula yang kemudian melahirkan apa yang namanya “Tunjangan Profesional Guru” yang menjadi sumber “permasalahan” yang tidak habis-habisnya menjadi konsumsi media massa.

Sebelum jauh membahas tentang permasalahan guru pasca lahirnya Undang-undang guru dan dosen. Ada baiknya kita melakukan “flashback” untuk melihat seperti apa profesi guru sebelum lahirnya UU nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Profesi guru sebelum lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen sangatlah memprihatinkan.  Betapa tidak oleh sebagian orang guru hanyalah dianggap sebagai pekerjaan “pelengkap” penderita.  Hal ini mungkin dikarenakan karena sebagian besar guru-guru pada saat itu hidupnya jauh dari kesan “berada”.  Guru selalu diidentikan dengan orang yang “menderita” baik secara fisik maupun psikis. 

Profesi guru saat itu tidaklah diminati oleh kawula muda. Tentu saja di samping penghasilannya yang minim. Guru saat itu tidaklah segagah tentara atau polisi, bahkan tidak sehebat dokter ataupun insinyur.  Sehingga anak-anak ketika ditanyakan cita-citanya saat itu tentunya tak ada yang bersedia menjadi guru.  Kebanyakan bercita-cita ingin menjadi tentara, polisi, jaksa, dokter, pilot dan lain sebagainya.  Andaikan ada yang bercita-cita menjad guru itu hanyalah satu diantara seratus.

Sehingga tak jarang saat itu satu sekolah hanya ada satu guru yang merangkap sebagai guru dan sekaligus kepala sekolahnya.  Sekolah dipenuhi dengan tenaga-tenaga honorer dengan latar belakang pendidikan yang tidak sesuai dengan profesi guru. Pendidikan yang pas-pasan sehingga penghasilnnya juga pas-pasan asalkan dapat menyambung hidup.  Sungguh miris, melihat sosok guru saat itu.  Namun ada hal yang tak dapat disepelekan dari “mereka” kemauan dan niat suci “mereka” untuk mengabdikan dirinya, mencerdaskan kehidupan bangsa saat itu patut diacungi jempol.  Sikap kharismatik selalu tertanam dalam diri mereka.   Dan yang terpenting dari semua itu walaupun hidup dalam kondisi yang serba pas-pasan tak ada yang sampai “meminta-minta” bahkan menjadi “pengemis”.  Sosok guru sebagai sosok yang dimuliakan senantiasa dijaga dan dipelihara dengan baik.

Lalu bagaimana dengan kondisi terkini dari profesi guru yang mulia tersebut? Inilah yang menjadi titik pembahasan kita.

Profesi guru pasca lahirnya Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 menjadi lahan yang diperebutkan oleh banyak pihak.  Tentunya karena di samping dijamin oleh Undang-undang, apalagi kalau bukan masalah penghasilan.  Ya, tentu saja inilah yang menjadi incaran banyak pihak. Dengan dibolehkannya lulusan sarjana di luar sarjana pendidikan untuk menjadi guru.  Tentunya akan menambah persoalan pelik di dunia pendidikan itu sendiri.

Tidak bermaksud untuk “mengecilkan” dan “mengucilkan” sarjana non pendidikan tetapi profesi guru bukanlah hanya sekedar mentransfer ilmu dari guru kepada siswa.  Profesi guru adalah lebih dari itu menjadi tenaga pengajar dan pendidik yang bertugas membimbing, mengarahkan, memfasilitasi, memotivasi, mengajarkan dan mendidik siswa akan ilmu serta hal-hal yang baik dan berguna. Bukan hanya bagi mereka, tetapi baik dan berguna bagi masyarakat, agama, bangsa dan negara ini kelak.  Inilah tugas suci yang harus diemban oleh seorang guru.

Kemudian permasalahan lain yang muncul pasca lahirnya Undang-undang nomor 14 tahun 2005 itu adalah semakin banyaknya tenaga honorer yang mengabdi pada sekolah-sekolah yang tadinya kosong.  Secara kasat mata mungkin kita melihat ini sebuah langkah maju bagi pendidikan di tanah air tercinta ini.  Namun di balik itu semua tersimpan suatu “malapetaka” bagi dunia pendidikan itu sendiri. Bukan tidak mungkin berbondong-bondongnya orang yang bersedia menjadi guru dikarenakan gerbong inilah yang selalu terbuka untuk mengakomodir para pencari kerja untuk menjadi PNS.  Alhasil, daftar panjang honorer kategori 1 dan kategori 2 yang dikeluarkan oleh Badan Administrasi Kepegawaian Negara dipenuhi dengan tenaga guru honorer. Semakin bertambah panjang penyelesaian masalah di negeri ini.

Ada lagi nih yang tak kalah serunya dari lahirnya Undang-undang Guru dan Dosen.  Karena keran untuk menjadi guru terbuka lebar maka setiap orang yang hendak menjadi guru dengan tujuannya masing-masing.  Ini pula yang menjadi salah satu permasalahan terkini.

Percaya atau tidak, banyak guru yang bekerja hanya untuk memenuhi kewajibannya.  Itupun dengan asal-asalan, yang penting sudah mengajar setelah itu apa yang terjadi terjadilah.... Meminjam kata pak ustad “Mengajar hanya untuk menggugurkan kewajiban.”  Persoalan siswa biarlah mereka hidup dengan dunia mereka dan aku dengan duniaku.”

Pemikiran-pemikiran seperti inilah yang selalu bermain-main di kebanyakan kepala guru-guru kita.  Sehingga sikap “malas” kerap menjangkiti perasaan mereka.  Malas untuk berinovasi, malas untuk melakukan kreasi bahkan malas untuk menambah pengetahuan dan mengasah kemampuan mereka.  Pada akhirnya terseret oleh zaman yang semakin mengglobal.  Mungkin ini pula salah satu faktor yang membuat kebanyakan guru menentang Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun lalu. Sungguh lucu, seorang guru yang biasanya menguji kemampuan siswa tak mau diuji kemampuannya.

Sosok guru sebagai panutan dan teladan.

Suka atau tidak, inilah jalan yang harus ditempuh. Tinggal memilih meneruskan atau kembali.  Meneruskan berarti bersedia mengambil resiko dari sebuah keputusan dan andaikan ada yang berbalik arah itu juga bagian dari keputusan yang harus dipertanggung jawabkan.

Jelasnya tak ada kata terlambat untuk memperbaiki diri.  Menjadi sosok panutan dan teladan adalah tujuan awal kita terjun sebagai seorang guru.  Andaikan ada motivasi lain tolong singkirkan dan jauhi dia karena guru adalah tugas dan profesi mulia.

Kita mungkin mengenal sosok guru “Oemar Bakri” tokoh khayalan yang diperkenalkan sang legenda Iwan Fals.  Tokoh yang mewakili jutaan guru di Indonesia yang “jujur dan berbakti” demi negeri tercinta ini, namun selalu bernasib malang. 

Kita masih punya relawan-relawan yang mengajar di daerah 3T (Terluar, Terdepan dan Terkebelakang) yang rela berpisah dengan keluarga demi tekad mengabdi untuk cerdasnya anak-anak Indonesia dari Sabang sampai Merauke tak terkecuali.

Dan bagi uztad dan uztadzah kita masih punya tokoh panutan Rasulullah SAW yang merupakan salah satu mahaguru bagi seluruh umat manusia.  Karena telah berhasil membawa manusia dari zaman jahiliyah ke masa yang terang benderang.

Sekali lagi tak ada kata terlambat untuk berbuat dan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masa depan bangsa ini kelak.  Karena di tangan gurulah nasib bangsa ini dipertaruhkan.  Maka jadilah yang terbaik untuk diri kita, masyarakat, agama, bangsa dan negara tercinta ini.

Semoga tulisan ini dapat menggugah semangat kita sebagai guru untuk selalu berbuat yang terbaik. 

Selamat merayakan Hari Pendidikan Nasional semoga bangsa ini semakin cerdas di masa yang akan datang.

No comments:

Post a Comment