Sunday, November 25, 2012

Menguliti Sosok Guru di Indonesia



Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku ‘tuk pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa....

Masih ingatkah anda dengan rangkaian kalimat di atas?  Rangkaian kalimat di atas merupakan syair lagu “Himne Guru”. Berisikan ekspresi penghargaan yang ditujukan kepada para guru dan membuka memori kita akan ketulusan para guru untuk mengabdikan seluruh jiwa dan raganya demi kemajuan bangsa.  Walaupun “terkadang” dan “bahkan” tidak pernah dihargai jasa-jasanya.

Memperingati Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-67, tepatnya tanggal 25 November 2012.  Ada baiknya kita selaku “guru” dan “orang-orang yang layak disebut guru” sama merenung.  Sudah seberapa banyak yang kita berikan, kita darma baktikan, kita perjuangkan demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia? Mengapa pertanyaan ini yang dikemukakan?  Karena sadar atau tidak, ditangan kitalah maju dan mundurnya suatu bangsa itu ditentukan. 

Hal ini pula yang disadari oleh kaisar Jepang Hirohito ketika negaranya hancur dibombardir oleh tentara sekutu saat Perang Dunia ke 2.  Saat itu, Hirohito selaku kaisar Jepang tidak menanyakan berapa jumlah anaknya yang masih hidup?  Berapa banyak hartanya yang masih tersisa? Dan menanyakan hal ihwal yang lain.  Pertanyaan sang kaisar saat itu adalah berapa banyak guru yang masih hidup?  Ya, sosok guru yang pertama kali ditanyakan oleh sang kaisar. 

Mengapa? Karena sang kaisar tahu bahwa guru adalah sumber motivator, inspirator, fasilitator, komunikator, bahkan indikator dari kemajuan suatu bangsa.  Hal inilah yang membuat bangsa Jepang yang porak poranda pasca Perang Dunia 2  bisa menjadi bangsa yang maju saat ini.

Bagaimana dengan keadaan bangsa kita? sungguh ironis.  Mengapa?  Karena “guru” dianggap sosok nomor dua bahkan tidak diperdulikan dalam sekian puluh tahun di negeri ini. Tentunya sebuah kelalaian yang akan membuat petaka.

Menjadi “guru” di Indonesia, bukanlah suatu hal yang mudah.  Kita mungkin mengenal sosok guru “Umar Bakri” yang diperkenalkan oleh sang legenda Iwan Fals dalam syair lagunya.  Dimana Umar Bakri digambarkan sebagai sosok guru jujur dan berbakti yang selalu makan hati, selalu kecewa.  Itulah sosok guru yang sebenarnya mewakili ribuan bahkan jutaan guru di Indonesia yang selalu dibuat “makan hati” oleh kebijakan dan aturan yang asal-asalan.  Kode etik yang dibuat hanya untuk menyenangkan “pimpinan” dan kita selaku “bawahan” harus dan wajib ikut tidak bisa membantah.

Dalam banyak kasus, terlihat adanya kesewenang-wenangan pimpinan dalam menerapkan kebijakan dan aturan.  Kebijakan dan aturan terkadang dipolitisir hanya untuk menyenangkan segelintir orang dan menyusahkan yang lain.  Pola “ABS” (asal bapak senang) masih kerap dipraktekkan dalam “memutasi” dan “mempromosikan” seorang guru. Belum lagi adanya sejumlah pejabat di daerah yang kerap memanfaatkan bahkan melakukan intervensi terhadap guru untuk melanggengkan masa jabatannya.  Kalau sudah begini, apakah guru yang harus disalahkan bila pendidikan di negeri ini terbelakang?

Guru adalah salah satu pilar penentu kemajuan pendidikan diantara pilar yang lain.  Itu berarti guru bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab terhadap kemajuan dunia pendidikan.  Kemajuan dunia pendidikan haruslah ditunjang oleh negara selaku pengambil dan penentu kebijakan dan masyarakat selaku penilai dari kebijakan yang dibuat.  Guru hanyalah pelaksana dari sebuah kebijakan yang dibuat oleh negara.  Sehingga bila terjadi “kemunduran” dalam dunia pendidikan. Harusnya yang dikoreksi adalah ketiga pilar penyangga tersebut.  Bukannya “guru” selaku pelaksana kebijakan itu saja yang dikoreksi dan lainnya dibebaskan dari tanggung jawab tersebut.  Ini adalah suatu tindakan yang anarkis karena guru sebagai pelaksana tidak pernah terlibat dalam merumuskan suatu kebijakan dan aturan terhadap dunia pendidikan di negeri ini. 

Kasus terbaru, penyusunan kerangka Kurikulum 2013 tidak melibatkan guru atau perwakilannya. Ini adalah satu contoh kasus diantara ratusan kasus serupa di negeri ini.  Tapi sudahlah daripada memikirkan sejumlah kasus yang tak ada titik terangnya.  Ada baiknya kita menyadari keberadaan kita selaku sosok yang perlu diguguh dan ditiru, sosok yang perlu diteladani karena mampu memberikan teladan yang baik.  Bukan sebaliknya menjadi sosok yang dicemooh karena “kebanyakan menuntut” daripada “berbuat”.  Terlampau banyak berbuat jelek dari pada baiknya.

Akhirnya, terlepas dari sosok yang harus diteladani dan sosok yang harus dicontohi.  Guru adalah manusia yang memiliki kekurangan, emosi, egois dan sejumlah sisi negatif lainnya. Sehingga dalam tugas sering berbenturan dengan sifat kekayaan hati, keikhlasan, kesabaran dan hal-hal positif lainnya.  Hal ini lumrah terjadi mengingat sifat manusia dengan segala kejelekan dan kebaikannya.  Tapi bukan berarti seorang guru harus bertindak mengedepankan sisi buruknya tapi sebaliknya dengan sekuat tenaga berusaha untuk mengedepankan sisi baiknya.

Selamat Hari Guru Nasional dan Dirgahayu buat PGRI

No comments:

Post a Comment