Friday, March 29, 2013

Tulehu, ’’Brazil-nya Maluku dan Indonesia’’

Olahraga
Salah satu tim asal desa Tulehu

ORANG Maluku lebih dulu diperkenalkan cara bermain sepak bola ketika Belanda menjajah wilayah ini. Kira-kira akhir abad ke-19, sepak bola sudah diperkenalkan kepada para pekerja kebun pala dan cengkih sehabis kerja ekstra di lahan-lahan partikulir kompeni.

Memulai dekade 1900-an, sudah terbentuk sejumlah klub, misalnya Pusaka Maluku, Puspa Ragam, Hative Voetbal Club, Bintang Timoer Ambon, dan klub-klub lain sebelum merebak ke seantero Pulau Jawa pada 1910-an. Kejuaraan kecil-kecilan pun dipanggungkan dalam skala kecil, hanya hiburan belaka.

Dalam tiga dekade itu, muncul dinasti Poetiray, yang mengharu biru sepak bola nasional sepanjang dekade 1940-an hingga 1990-an. Nama lain seperti Noce Souissa, Simson Rumahpassal, Jacob Sihasale, Bertje Mattulapelwa, Tony Tanamal, Jhon Lesnussa, Mustafa Umarella, Najib Atamimi, Christian Wacano, Rocky Poetiray, Koko Reinald Pieterz, Kharil Anwar Ohorela, Dedi Umarella, Imran Nahumarury, Ricardo Salampessy, Ramdani Lestaluhu, Hasyim Kippuw, Valentino Telarubun, Husen Rahangningmas, Hendra Adi Bayauw, Abdul Rahman Lestaluhu, Manahati Lestusen, Risky Ahmad Sanjaya Pellu, Ricky Bardes Leurima, dan Syaiful Bachri Ohorella ikut mewarnai parade panjang performa pemain-pemain asal Maluku bersama timnas senior dan yunior di berbagai event internasional.

Itu belum termasuk orang Maluku yang lahir di tanah rantau macam Rony Hermanus Pattinasarany, Tomy Latupeirissa, Nasir Salassa, Salem Alkatiri, Ely Idris, Ferril Raymond Hattu, Yesy Mustamu, Frans Sinatra Huwae, Alexander dan Saununu yang pernah menorehkan prestasi untuk timnas sejak dekade 1970-an hingga akhir 1980-an. Dalam bingkai pembinaan lokal, Lapangan Merdeka, Ambon menjadi lokasi sentral pembentukkan pemain-pemain Persatuan Sepakbola Ambon (PSA) yang menjadi tulang punggung timnas. Namun, perlahan-lahan tuah Lapangan bersejarah ini luntur seiring terpuruknya pembinaan PSA di awal 1990-an. Di saat pembinaan sepak bola mandek di pusat kota, anak-anak Tulehu mencuri perhatian. Mereka larut dalam pembinaan alami di Lapangan Matawaru. 

Lapangan Matawaru menjadi ’’mesin pencetak alami’’ pemain-pemain andal sejumlah klub elite Indonesia, bahkan dari Tulehu lahir punggawa-punggawa timnas Merah Putih. Mustafa Umarela, Khairil Ohorella, Ramdani Lestaluhu, Hasyim Kippuw, Hendra Bayauw, Abdul Rahman Lestaluhu, Sedek Sanaky, dan Alfin Ismael Tuasalamony merupakan sebagian dari talenta-talenta lapangan hijau asal Haturessy, julukan adat Tulehu. 

Setiap bayi yang baru lahir di Tulehu sudah diperkenalkan dengan bola. Saat orangtua asyik menonton bola, mereka acap kali lupa kalau tengah menggendong bayi di pinggir lapangan. Setiap pulang sekolah, materi bola langsung dilahap, kostum, sepatu, peralatan sepak bola diangkut ke lapangan. Gim kecil-kecilan dilakukan. Sentuhan ’’tik-tak’’ acap kali terlihat saat sejumlah bocah berlarian memenuhi tengah lapangan Matawaru. 

Setiap bulan Suci Ramadhan tiba, anak-anak Tulehu dari berbagai penjuru Indonesia datang melakukan eksebisi, partai persahabatan. Tujuannya memotivasi sekaligus menularkan teknik bermain bola kepada anak-anak sekolah. Kelebihan anak-anak Tulehu dalam bermain bola relatif banyak. Mereka dikenal punya gaya mirip pemain-pemain Brazil yang memeragakan teknik samba, bermain bola-bola pendek dan teknik tinggi. Pinggiran pantai dan lorong-lorong kampung menjadi media menyalurkan bakat bermain bola. 

Karena itu, orang lalu mengindentikkan Tulehu sebagai Brazilnya Maluku bahkan Indonesia. Buktinya sederhana. Tak ada satu desa di Jawa Timur maupun Papua yang bisa mewakili provinsi dan langsung juara. Tengok itu hanya pada Tulehu. 

Dalam pagelaran turnamen PSSI U-15 Piala Jhon Mailoa 2006 dipajang spanduk kecil bertuliskan ’’Dari Tulehu untuk Indonesia’’ di sudut atas tengah Lapangan Matawaru. 

Kendalanya, orang Tulehu belum bersatu karena mereka begitu fanatik bola. Karena sepak bola saudara bisa membenci saudara. Dengan jumlah penduduk sekira 20-an ribu, sudah saatnya Tulehu punya klub di Divisi Utama dan Liga Super Indonesia. Caranya sederhana, pilih gubernur yang bisa konsisten dengan obsesi tersebut. (RONY SAMLOY)

No comments:

Post a Comment