Oleh: Dr Tatik Mariyanti, Dosen FE dan Koordinator Akademik IEF Universitas Trisakti, Peneliti Tamu FEM IPB
Ilustrasi |
Dalam sebuah ‘Negara yang Sedang Berkembang’ (NSB), banyak sekali perma salahan yang menjadi penghambat bagi perkembangan negara untuk maju menuju tahap selanjutnya. Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah kemiskinan.
Tingkat perkembangan jum lah penduduk yang tinggi dan tingkat kemiskinan yang meng ikutinya mesti dijadikan pemicu bagi kelancaran program pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah, dan bukannya menjadi faktor penghambat. Masalah kemiskinan ini bukan hanya dialami oleh negara yang sedang berkembang saja, bahkan di negara maju sekalipun, ada masalah ini meski tidak separah di negara yang sedang berkembang.
Perhatian agama Islam terhadap masalah kemiskinan sangat besar. Seperti dalam Alquran, kata ‘miskin’ dan ‘masakin’ disebut sampai 25 kali, sementara ‘faqir’ dan ‘fuqoro’ sampai 14 kali (Muhammad Abdul Baqi’).
Allah SWT berfirman, “… berikanlah makan kepada orang yang lagi fakir.“ (QS. AL-Hajj, 22 : 8). Nabi Muhammad SAW sendiri berdoa, “Aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran dan kekufuran “(HR Abu Daud). Kufur di sini tidak hanya lawan dari iman, melainkan juga lawan dari syukur atas nikmat yang dianugerahkan Allah SWT.
Dalam Islam ada dua pendapat dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah “orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga”.
Kedua, mazhab Hambali dan Syafi’i yang menyatakan miskin itu adalah “orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih tetapi tidak mencukupi”.
Sebenarnya apa yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz paradoks dengan kondisi di Indonesia yang notabene masyarakatnya sebagian besar umat Islam. Ada beberapa hal yang dapat dipelajari pada kondisi Indonesia saat ini.
Pertama, fakta bahwa walaupun lebih dari setengah abad Indonesia merdeka dan lebih dari tiga puluh tahun membangun, yang terjadi yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Hal ini terjadi karena struktur ekonomi yang dualistik tetap berlanjut.
Sektor modern dikuasai oleh para kapitalis yang sudah mapan, yang berkoalisi dengan elit kekuasaan, sementara sebagian besar rakyat di pedesaan masih hidup dalam ekonomi tradisional agraris informal. Yang tinggal di kota dan yang migrasi ke kota, masuk dalam barisan pekerja dengan bergaining position yang rendah dan rawan dengan PHK.
Kedua, struktur politik dan sosial juga masih belum banyak berubah walaupun telah melewati Orde Baru. Umar Bin Abdul Aziz telah memberikan solusi dan teladan yang baik dalam pengentasan kemiskinan dengan berdasarkan pada konsep Islam dalam pengembangan masyarakat.
Dalam mengubah struktur ekonomi, Umar Bin Abdul Aziz meletakkan satu kakinya di kekuasaan, namun kaki lainnya diletakkan dalam ma sya rakatnya yang miskin.
Ini terlihat ketika beliau meninggalkan kemewahan yang telah dirasakannya sejak kecil dan bertahun-tahun, untuk memberi pengaruh bahwa kekuasaan tidaklah berfungsi melindungi kelompok kapitalis yang memiliki modal yang besar, tetapi memacu kehidupan yang berkeadilan.
Kemudian pemerataan ekonomi dengan konsep zakat yang menghilangkan jurang antara yang miskin dan si kaya. Hasil penelitian yang dilihat dari perspektif Islam ditemukan bahwa zakat, bekerja, bersekolah, mempunyai pengaruh terhadap kemiskinan (Maududi, 1980 dan Darusman, 1996).
Penelitian lain dengan data primer menemukan bahwa penyediaan lapangan kerja di sektor informal, BMT (Baitul Mal Wat Tamwil), serta zakat merupakan hal yang positif untuk mengatasi kmiskinan di daerah perkotaan Ismail (2007). Sedangkan Firmansyah (2007) menemukan bahwa zakat produktif akan sangat efektif dalam pengentasan kemiskinan.
Pendekatan TSR
Berdasarkan hal tersebut, maka penulis tertarik untuk meneliti tentang pengaruh zakat, infak dan sedekah (ZIS), dan pembiayaan dari BMT dalam penurunan kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan TSR (Tawhidi String Relation).
Menurut Choudhury (2002), sumber ilmu pengetahuan adalah Alquran dimana Alquran merupakan kitab suci wahyu yang menjelaskan pengetahuan tentang ke-Esa-an Allah, yang dinamakan sebagai Tauhid. Alquran diberikan kepada manusia agar manusia membuat tatanan epistemologi, dimana menurut Alquran ilmu pengetahuan tersebut merupakan wahyu yang diturunkan kepada manusia melalui suratic process. Suratic process adalah proses yang berkenaan dengan manusia dan alam. Dalam sistem ini akan muncul interaksi yang kuat.
Melalui interaksi muncul integrasi sebagai tanda dari sebuah konsensus yang menyatu. Integrasi ini, pada gilirannya, diikuti oleh proses evolusi. Dengan pemahaman terhadap hubungan ini, manusia dan masyarakat menciptakan tatanan dunia yang berdasarkan pada Alquran dan Sunnah, dan pengetahuan yang mereka dimiliki.
Oleh karenanya, melalui interaksi dan integrasi di antara mereka, melalui proses perkembangan secara perlahan tersebut muncullah Social Wellbeing Function. Dalam masyarakat nyata kita dapat melihat hubungan ini, antara sang dermawan dan anak yatim serta orang miskin, atau pemeliharaan terhadap anak-anak miskin oleh para orang tua angkat atau orang tua tiri.
*Dirangkum dari 2 tulisan terpisah dalam laman republika.co.id
No comments:
Post a Comment