Ilustrasi |
Ambon : Amnesty International mendesak Pemerintah Indonesia harus segera dan tanpa syarat membebaskan sepuluh aktivis politik yang ditangkap, Jumat (25/4) di provinsi Maluku, menjelang protes damai yang direncanakan di provinsi tersebut.
“Para aktivis adalah tahanan hati nurani (prisoners of conscience) - ditahan semata-mata karena pelaksanaan hak-hak mereka untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai - dan penangkapan mereka menyoroti berlanjutnya kegagalan polisi Indonesia untuk menghormati hak-hak ini di provinsi Maluku,” kata Josef Roy Benedict, anggota Amnesty International untuk Kampanye Indonesia dan Timor Leste, seperti dilansir tribun maluku.com.
Dijelaskan lebih lanjut, ditangkapnya sepuluh aktivis politik karena perencanaan untuk memperingati ulang tahun deklarasi kemerdekaan gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) dan membawa bendera "Benang Raja" - simbol gerakan pro-kemerdekaan RMS yang dilarang.
“Ketika demonstran berkumpul, personil polisi dari Polres Pulau Ambon dan Pulau-Pulau Lease muncul dan menangkap dan mengambil setidaknya sepuluh aktivis. Keluarga mereka tidak menyadari lokasi mereka saat ini tetapi menurut polisi setempat para aktivis bisa didakwa dengan pasal makar,” bebernya.
Menurut Josef, Hak atas kebebasan berekspresi, berpendapat dan berkumpul secara damai dijamin oleh Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang Indonesia merupakan negara anggota, serta Konstitusi Indonesia. Tindakan hari ini oleh polisi Indonesia adalah jelas melanggar hak-hak ini.
“Amnesty International juga khawatir atas keamanan para aktivis, yang mungkin berada pada risiko penyiksaan atau perlakuan buruk lainnya,” jelasnya.
Amnesty International, tambahnya, telah mendokumentasikan kasus-kasus di masa lalu di mana polisi menyiksa dan menganiaya aktivis politik yang ditahan di Maluku. Sampai saat ini, tidak ada investigasi independen telah dilakukan dalam pelanggaran hak asasi manusia ini dan tidak ada pelaku yang diduga telah dimintai pertanggungjawaban.
Amnesty International menyerukan pihak berwenang untuk memastikan bahwa para aktivis dibebaskan segera dan tanpa syarat.
"Sebelum pembebasan mereka, pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa para aktivis tidak disiksa atau diperlakukan buruk dalam tahanan, dan bahwa mereka diberikan akses ke anggota keluarga mereka, pengacara dan profesional medis, jika diperlukan,” tegas Josef.
Amnesty International menyatakan sejumlah undang-undang di Indonesia digunakan untuk menangkap aktivis politik damai, khususnya mereka yang berasal dari wilayah dengan sejarah gerakan pro-kemerdekaan, seperti Maluku dan Papua.
Puluhan aktivis politik dari daerah-daerah tersebut telah divonis dalam beberapa tahun terakhir - beberapa selama 20 tahun - karena menghadiri, mengatur atau berpartisipasi dalam kegiatan politik atau protes damai, atau memiliki, menaikkan atau melambaikan bendera pro-kemerdekaan yang dilarang.
“Amnesty International menganggap mereka sebagai tahanan hati nurani dan menyerukan pembebasan mereka segera dan tanpa syarat. Diperkitakan saat ini ada 70 tahanan hati nurani dari Maluku dan Papua,” beber Josef.
Amnesty International mendesak pemerintah Indonesia untuk mencabut atau mengubah semua undang-undang yang mengkriminalisasi kebebasan berekspresi, atau memastikan ia sesuai dengan hukum dan standar HAM internasional.
Secara khusus, pasal 106 dan 110 KUHP yang mengkriminalisasi aksi damai sebagai "makar", dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No 77/2007 yang melarang tampilan logo regional atau bendera yang juga digunakan oleh organisasi separatis, harus dicabut.
Dijelaskan lebih lanjut, Amnesty International tidak mengambil posisi apapun mengenai status politik dari setiap provinsi Indonesia, termasuk desakan untuk kemerdekaan. Namun organisasi tersebut menganggap bahwa hak untuk kebebasan berekspresi termasuk hak untuk melakukan advokasi damai untuk referendum, kemerdekaan atau solusi politik lainnya. (tm2)
Sumber : tribun-maluku.com
No comments:
Post a Comment