Ilustrasi |
Jakarta - Matematikawan dari Institut Teknologi Bandung, Prof Dr Iwan Pranoto, mengatakan pendidikan yang diterapkan di Indonesia rendah daya nalar dan tidak menguntungkan anak-anak yang kritis.
"Kebijakan pendidikan kita rendah daya nalarnya. Tidak masalah kalau pelajaran agama dogmatis. Itu wajar. Tapi, yang menjadi masalah kalau matematika juga diajarkan dogmatis," ujar Iwan dalam diskusi "Kepedulian Pengembangan Sains Dasar" yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Rabu.
Penyebab rendahnya daya nalar pendidikan di Tanah Air, lanjut Iwan, adalah kurikulum yang kurang baik, kurangnya guru terlatih, dan kurangnya penekanan pada penalaran pada pemecahan masalah.
Pendidikan yang ada, lanjut dia, terlalu memuliakan perilaku kepatuhan. Bukan mengembangkan daya pikir dari anak yang dididik.
Siklus pengajaran mata pelajaran matematika dan sains di sekolah, lanjut dia, nyaris mengikuti pakem yang sama seperti guru masuk kelas, menyapa, lalu menuliskan rumus pada papan tulis, kemudian memberikan contoh pengerjaannya, dan akhirnya meminta siswa mengerjakan kumpulan soal-soal latihan.
"Pengajaran matematika dan sains yang dogmatis seperti itu. Wajar, kalau masyarakat menganggap matematika dan sains itu sulit," tukas dia.
Menurut dia, jika metode pengajaran yang dilakukan oleh guru seperti itu, maka itu bukanlah matematika dan sains tapi matematika semu.
Padahal, lanjut dia, kecakapan yang diperlukan oleh anak-anak bukan menghapal melainkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah dan berkomunikasi.
"Komunikasi bukan hanya sekedar menyatakan pendapat, tapi mampu meyakinkan orang. Kalau anak-anak diajarkan hanya menghapal rumus-rumus, mereka tidak akan mempunyai kemampuan untuk meyakinkan orang karena tidak pernah melakukan pembuktian.
Sumber : http://www.antaranews.com
No comments:
Post a Comment