Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam
sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam
hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku ‘tuk
pengabdianmu
Engkau sebagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa tanpa
tanda jasa....
Masih
ingatkah anda dengan rangkaian kalimat di atas? Rangkaian kalimat di atas merupakan syair lagu
“Himne Guru”. Berisikan ekspresi penghargaan yang ditujukan kepada para guru
dan membuka memori kita akan ketulusan para guru untuk mengabdikan seluruh jiwa
dan raganya demi kemajuan bangsa.
Walaupun “terkadang” dan “bahkan” tidak pernah dihargai jasa-jasanya.
Memperingati
Hari Guru Nasional dan Hari Ulang Tahun PGRI ke-67, tepatnya tanggal 25 November
2012. Ada baiknya kita selaku “guru” dan
“orang-orang yang layak disebut guru” sama merenung. Sudah seberapa banyak yang kita berikan, kita
darma baktikan, kita perjuangkan demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia?
Mengapa pertanyaan ini yang dikemukakan?
Karena sadar atau tidak, ditangan kitalah maju dan mundurnya suatu
bangsa itu ditentukan.
Hal
ini pula yang disadari oleh kaisar Jepang Hirohito ketika negaranya hancur dibombardir
oleh tentara sekutu saat Perang Dunia ke 2.
Saat itu, Hirohito selaku kaisar Jepang tidak menanyakan berapa jumlah
anaknya yang masih hidup? Berapa banyak
hartanya yang masih tersisa? Dan menanyakan hal ihwal yang lain. Pertanyaan sang kaisar saat itu adalah berapa
banyak guru yang masih hidup? Ya, sosok
guru yang pertama kali ditanyakan oleh sang kaisar.
Mengapa?
Karena sang kaisar tahu bahwa guru adalah sumber motivator, inspirator,
fasilitator, komunikator, bahkan indikator dari kemajuan suatu bangsa. Hal inilah yang membuat bangsa Jepang yang
porak poranda pasca Perang Dunia 2 bisa
menjadi bangsa yang maju saat ini.
Bagaimana
dengan keadaan bangsa kita? sungguh ironis.
Mengapa? Karena “guru” dianggap
sosok nomor dua bahkan tidak diperdulikan dalam sekian puluh tahun di negeri ini.
Tentunya sebuah kelalaian yang akan membuat petaka.
Menjadi
“guru” di Indonesia, bukanlah suatu hal yang mudah. Kita mungkin mengenal sosok guru “Umar Bakri”
yang diperkenalkan oleh sang legenda Iwan Fals dalam syair lagunya. Dimana Umar Bakri digambarkan sebagai sosok
guru jujur dan berbakti yang selalu makan hati, selalu kecewa. Itulah sosok guru yang sebenarnya mewakili
ribuan bahkan jutaan guru di Indonesia yang selalu dibuat “makan hati” oleh
kebijakan dan aturan yang asal-asalan. Kode
etik yang dibuat hanya untuk menyenangkan “pimpinan” dan kita selaku “bawahan”
harus dan wajib ikut tidak bisa membantah.
Dalam
banyak kasus, terlihat adanya kesewenang-wenangan pimpinan dalam menerapkan
kebijakan dan aturan. Kebijakan dan
aturan terkadang dipolitisir hanya untuk menyenangkan segelintir orang dan
menyusahkan yang lain. Pola “ABS” (asal bapak senang) masih kerap
dipraktekkan dalam “memutasi” dan “mempromosikan” seorang guru. Belum lagi
adanya sejumlah pejabat di daerah yang kerap memanfaatkan bahkan melakukan
intervensi terhadap guru untuk melanggengkan masa jabatannya. Kalau sudah begini, apakah guru yang harus
disalahkan bila pendidikan di negeri ini terbelakang?
Guru
adalah salah satu pilar penentu kemajuan pendidikan diantara pilar yang
lain. Itu berarti guru bukan
satu-satunya yang harus bertanggung jawab terhadap kemajuan dunia
pendidikan. Kemajuan dunia pendidikan
haruslah ditunjang oleh negara selaku pengambil dan penentu kebijakan dan
masyarakat selaku penilai dari kebijakan yang dibuat. Guru hanyalah pelaksana dari sebuah kebijakan
yang dibuat oleh negara. Sehingga bila
terjadi “kemunduran” dalam dunia pendidikan. Harusnya yang dikoreksi adalah
ketiga pilar penyangga tersebut.
Bukannya “guru” selaku pelaksana kebijakan itu saja yang dikoreksi dan
lainnya dibebaskan dari tanggung jawab tersebut. Ini adalah suatu tindakan yang anarkis karena
guru sebagai pelaksana tidak pernah terlibat dalam merumuskan suatu kebijakan dan
aturan terhadap dunia pendidikan di negeri ini.
Kasus
terbaru, penyusunan kerangka Kurikulum 2013 tidak melibatkan guru atau
perwakilannya. Ini adalah satu contoh kasus diantara ratusan kasus serupa di
negeri ini. Tapi sudahlah daripada
memikirkan sejumlah kasus yang tak ada titik terangnya. Ada baiknya kita menyadari keberadaan kita
selaku sosok yang perlu diguguh dan ditiru, sosok yang perlu diteladani karena
mampu memberikan teladan yang baik.
Bukan sebaliknya menjadi sosok yang dicemooh karena “kebanyakan menuntut”
daripada “berbuat”. Terlampau banyak
berbuat jelek dari pada baiknya.
Akhirnya,
terlepas dari sosok yang harus diteladani dan sosok yang harus dicontohi. Guru adalah manusia yang memiliki kekurangan,
emosi, egois dan sejumlah sisi negatif lainnya. Sehingga dalam tugas sering
berbenturan dengan sifat kekayaan hati, keikhlasan, kesabaran dan hal-hal
positif lainnya. Hal ini lumrah terjadi
mengingat sifat manusia dengan segala kejelekan dan kebaikannya. Tapi bukan berarti seorang guru harus
bertindak mengedepankan sisi buruknya tapi sebaliknya dengan sekuat tenaga
berusaha untuk mengedepankan sisi baiknya.
Selamat
Hari Guru Nasional dan Dirgahayu buat PGRI
No comments:
Post a Comment