Pencemaran sungai akibat penambangan emas Gunung Botak, Buru. |
Ambon - Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL) Provinsi Maluku telah melakukan uji sampel air bersih menyikapi tingkat pencemaran lingkungan akibat aktivitas penambangan emas di kawasan Gunung Botak, Desa Wamsait, Kecamatan Waepao, Kabupaten Buru.
Hasil pengujian yang merupakan kerjasama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Maluku tersebut ternyata menemukan sejumlah titik air bersih maupun sungai di wilayah tersebut telah tercemar logam merkuri.
Kepala Dinkes Provinsi Maluku, Ike Pontoh kepada wartawan di ruang kerjanya, Kamis (15/1) menjelaskan di sejumlah lokasi yang diambil sampelnya tersebut ternyata ditemukan kandungan merkuri melebihi ambang batas konsentrasi merkuri yang masih bisa ditoleransi yaitu 0,001 mg/liter.
Khusus sampel air bersih, jelas Pontoh, tim penguji mengambil sampel di tujuh lokasi yaitu di satu lokasi di kawasan Anahonai, dua lokasi di kawasan Gunung Botak, satu lokasi di kawasan Wamsait, dua lokasi di kawasan Waegernangan dan satu lokasi di kawasan Masarete.
“Di sejumlah lokasi yang diambil sampelnya tersebut ternyata ditemukan kandungan merkuri melebihi ambang batas konsentrasi merkuri yang masih bisa ditoleransi yaitu 0,001 mg/liter. Hasil pengujiannya menunjukkan kandungan merkuri di lokasi tersebut berkisar antara 0,00161 - 0,0071 mg/liter,” jelasnya.
Menurutnya, selain melakukan pengujian di sejumlah lokasi yang merupakan sumber air bersih bagi kebutuhan warga setempat, tim penguji juga mengambil sampel pengujian di sejumlah Daerah Aliran Sungai (DAS).
“Hasil pengujian sampel air di Hulu Sungai Waeapo menunjukkan kandungan merkuri mencapai 0,0529 mg/liter, Kali Suket (0,0049 mg/liter), Kali Netat (0,0089 mg/liter), Hilir Kali Wamsait (0,006 mg/liter), Kali Anahonai (0,0042 mg/liter) dan Hulu Kali Wamsait (0,0463 mg/liter),” ungkap Pontoh.
Dikatakan, merkuri tergolong logam berat sehingga jika menyebar ke lingkungan akan sangat beracun. “Yang harus diantisipasinya jangan sampai merkuri bercampur dengan zat lainnya sehingga akan menjadi methyl mercury yang akan meracuni ikan di sungai tersebut,” katanya.
Pontoh mengharapkan jika ada rencana pembukaan kembali areal penambangan emas di Gunung Botak maka pemerintah setempat harus memperhatikan limbah yang mengandung merkuri.
“Jika ada rencana pembukaan kembali areal penambangan emas di Gunung Botak maka harus dipikirkan juga menyangkut pengendalian dampak merkuri dan sianida. Jika pengolahan masih tradisional maka pencemaran bisa saja terjadi,” jelasnya. Ia juga meminta jajaran Dinkes Kabupaten Buru untuk terus memantai kesehatan masyarakat.
Sebagaimana diketahui, keberlimpahan deposit sumber daya mineral, salah satunya emas, kadang mendorong banyak pihak untuk mengeksplorasi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan. Bahkan seiring dengan temuan kandungan bijih emas, bermunculan penambang tradisional.
Persoalannya, eksplorasi itu tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Kita bisa mengamati dari proses ekstraksi yang masih mengandalkan air raksa atau merkuri (Hg) sebagai pengikat emas. Penambang akan menambahkan 1 kg merkuri untuk 40 kg batuan/tanah yang mereka gali. Selanjutnya, penambang mencuci amalgam itu, lalu membakar untuk memperoleh emas murni.
Proses amalgamasi emas secara tradisional ini berisiko mencemari lingkungan karena air hasil pengolahan yang masih mengandung merkuri, dibuang tanpa ada penanganan lebih dulu. Padahal kandungan air raksa dalam air limbah hasil pengolahan itu berba-haya bagi makhluk hidup. (S-12)
Sumber : http://siwalimanews.com
No comments:
Post a Comment