Sunday, March 23, 2014

Ida Ayu Nari Swari tak Merasa Terlambat Menemukan Islam

Ida Ayu Nari Swari
Islam memberi jawaban atas semua pertanyaan.

Tak ada hambatan berarti bagi Ida Ayu Nari Swari saat memutuskan untuk masuk Islam. Semuanya mengalir dengan lancar.

Tidak ada kesulitan dalam menjalankan ibadah atau belajar hal lainnya. “Teman-teman juga sangat mendukung,” katanya.

Ini yang menurutnya membedakan dirinya dengan sebagian mualaf di Tanah Air yang masuk Islam akibat pernikahan. Tanpa menguasai dan memahami ajaran Islam terlebih dulu.


Kepada Republika, Ida begitu sapaan akrabnya, mengawali kisah pertemuannya dengan Islam. Ia mengaku bersyukur tinggal di Indonesia. Khususnya di Pulau Jawa. Ia mengenal berbagai perbedaan suku dan agama.

Ia pun menemukan keragaman tersebut di dalam keluarganya. Ayahnya dari Bali beragama Hindu, ibunya dari suku Jawa, ada tantenya yang berasal dari Makassar, ada pula yang dari Dayak. Semua agama ada dalam keluarga besarnya.

Ia sendiri dilahirkan dan besar di bawah ajaran Hindu, lantaran ayahnya penganut Hindu dan bergelar Ida Bagus. Sebuah gelar bangsawan bergengsi di Bali. Ia dan saudara perempuannya juga diberikan gelar Ida Ayu agar meneruskan generasi kehormatan ini.

Di kota kelahirannya, Tulungagung, ia bersekolah di Santa Maria. Ketika pindah ke Surabaya, orang tuanya menyekolahkannya di lembaga yang sama.

Lingkungan sekolah dan tempat tinggal inilah yang membuat matanya terbuka pada masalah keragaman kepercayaan.

Bagaimana bergaul dengan orang yang agamanya berbeda, bertoleransi, dan tidak menyinggung salah satu ajaran agama. Di sekolah ini, Ida Ayu kembali dihadapkan dengan keragaman agama warga Kota Pahlawan itu. 

Ternyata bukan hanya siswa kristen yang bersekolah di sini meski memang ada pelajaran Kristen yang menjadi kewajiban para siswanya untuk dipelajari, paling tidak untuk menghafal doa-doa kristen. 

“Sahabat-sahabat terdekat saya di sekolah ini adalah Muslim,” ungkap Ida Ayu pada Republika, Selasa (4/3). Lantaran memiliki teman-teman Muslim, membuat Ida akrab dengan kebiasaan-kebiasaan ibadah Islam. 

Misalnya, ketika sedang belajar bersama, temannya menyempatkan diri untuk shalat, juga menjalankan sebulan penuh puasa seharian. “Jadi saya tahu kebiasaan mereka sampai sore hari,” katanya.

Kebiasaan ini yang lambat laun membuatnya tertarik. Namun, ia belum memberanikan diri untuk langsung mengubah kepercayaan yang ia anut selama ini.

Ida mengaku mempelajari Islam secara otodidak, belajar sendiri secara diam-diam, dan tidak mengatakan hal ini pada orang tuanya.

Sebenarnya, sikap orang tua Ida terbuka menanggapi masalah kepercayaan. Kekhawatiran orang tua pada rencana itu hanya bila kelak ia berpindah agama, tidak ada sosok yang bisa menuntun Ida mengenal lebih jauh soal Agama barunya tersebut. 

Hingga ketika berada di jenjang perguruan tinggi, ia menemukan calon suami seorang Muslim. Sebenarnya orang ini adalah teman sekolahnya sejak lama, namun baru mengutarakan cinta dan keseriusannya ketika sudah berada di bangku kuliah.

Keseriusan hubungan ini kemudian dilanjutkan dengan keberanian sang calon suami bertemu dengan orang tua Ida. Sang ayah memberikan isyarat lampu hijau bagi calon menantunya itu. 

Dengan syarat, suaminya kelak harus membimbing karena keputusan berpindah agama bukan main-main. “Bapak membolehkan,” ungkapnya haru. 

Dengan restu keluarganya, Ida akhirnya masuk Islam. Tepatnya pada 1988, ia mengucapkan dua kalimat syahadat dan mempelajari ibadahnya. Setahun kemudian, ia menikah dengan lelaki yang membimbingnya dalam keislaman tersebut.

Kini, dokter yang bertugas di Banyuwangi, Jawa Timur, ini lega bisa membina biduk rumah tangga dan mendidik putra-putranya dengan ajaran Islam. 

Putranya pun disekolahkan di sekolah negeri agar juga bisa belajar tentang keragaman agama dan kepercayaan yang ada di daerahnya.

Jalan keluar

Satu hal yang membuatnya semakin yakin dengan jalan yang dipilihnya ini adalah menurutnya dalam Islam semua pertanyaan ada jawabannya. 

Alquran dan hadis bisa dengan lengkap menjawab keraguan, keingintahuan, maupun menyajikan jalan keluar ketika menemui masalah duniawi.

Selama berada dalam jalan Allah ini, rasa syukur selalu dipanjatkannya. Ia mengakui, memang tidak dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran Islam.

Namun, ketika menemukan Islam kala dewasa merupakan hal yang sangat menakjubkan baginya. “Tak ada kata terlambat untuk menemukan Islam,” katanya penuh semangat.

Sumber : republika.co.id

No comments:

Post a Comment