Ilustrasi |
JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menyampaikan bahwa pembangunan pendidikan nasional mulai menunjukkan hasil signifikan. Hal itu diklaim sebagai keberhasilan pemerintah, khususnya di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada acara puncak Peringatan Hari Guru Nasional 2013 dan HUT ke-68 PGRI, Rabu (27/11/2013), di Jakarta, Nuh membeberkan fakta yang dianggapnya menjadi bukti sukses pembangunan pendidikan nasional. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, juga ribuan guru, hadir dalam acara tersebut.
Hal pertama yang ia beberkan adalah mengenai kesuksesan pemerintah dalam meningkatkan akses pendidikan atau dengan istilah yang disebutnya angka partisipasi kasar (APK). Kesuksesan itu diklaim diraih melalui program bantuan operasional sekolah (BOS) untuk pendidikan dasar yang digulirkan sejak 2005, dan BOS setingkat SMA yang digulirkan sejak 2012-2013 melalui program pendidikan menengah universal (PMU).
Di luar itu, kata Nuh, pemerintah juga memberikan bantuan siswa miskin, dan beasiswa bidik misi bagi pelajar berprestasi namun tak mampu secara finansial untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Dari segi anggaran, Nuh menyampaikan bahwa pemerintah konsisten menggelontorkan dana sekitar Rp 42 triliun untuk pendidikan khusus di setiap tahunnya. Tujuan dari kebijakan ini diklaim untuk memperlebar akses pendidikan bagi semua anak Indonesia.
Ia menganggap program ini sukses karena mampu mendongkrak APK Indonesia sebelum 2004 yang masih di bawah 50 persen, dan naik menjadi 78 persen di 2012. Nuh yakin, pada 2014 APK tersebut dapat mencapai 84 persen, dan pada 2020 dapat melonjak mencapai 98 persen.
Selain memperlebar akses pendidikan, Nuh berjanji akan terus membenahi profesionalitas, distribusi, perlindungan dan kesejahteraan guru Indonesia. Termasuk di antaranya janji untuk terus memperbaiki sistem pendidikan profesi guru dan pelatihan berkelanjutan.
Akan tetapi, di luar angka-angka kesuksesan yang dibeberkan Mendikbud, masih ada beberapa hal yang disoroti dan menuai kritik. Di antaranya adalah mengenai kurikulum pendidikan nasional, dan gelaran Ujian Nasional (UN).
Saat menjadi pembicara dalam sebuah seminar yang digelar Dewan Guru Besar Universitas Indonesia, di Jakarta, Selasa (26/11/2013), Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai ada yang salah dalam sistem pendidikan Indonesia.
Menurut Abraham, sistem pendidikan nasional lebih menitikberatkan pada kecerdasan kognitif, dan melupakan kecerdasan emosional sehingga tolak ukur kecerdasan terletak pada nilai hasil ujian, bukan pada proses siswa mendapatkan nilai tersebut.
"Ada yg salah dengan dunia pendidikan kita. Contohnya sistem UN, pemerintah menerapkan standarisasi, artinya, pendidikan kita berorientasi memacu anak-anak pintar secara intelektual saja," kata Abraham.
Sistem pendidikan seperti itu, kata Abraham, hanya akan mendorong siswa fokus pada hasil akhir. Padahal seharusnya, pemerintah dapat membuat sistem pendidikan yang membangun kecerdasan emosional siswa agar dapat berperilaku jujur sejak bangku sekolah dan kelak tak terlibat dalam berbagai praktik tindak pidana korupsi.
Sadar dengan kesalahan itu, KPK kemudian membuat program antikorupsi. Tidak tanggung-tanggung, program tersebut telah diterapkan sejak tingkat prasekolah (playgroup) hingga perguruan tinggi.
"Kenapa dari playgroup? Karena ini generasi mendatang, suatu hari bisa menghasilkan karakter yang kokoh, dan membuat kemajuan untuk Indonesia," pungkasnya.
Dalam forum yang sama, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Anis Matta bahkan memberi kritik yang lebih tajam. Ia mengusulkan agar dilakukan reformasi pendidikan untuk mewujudkan pembangunan pendidikan yang sukses, dan berkeadilan.
Anis menilai, postur organisasi di Kementerian Pendidikan terlalu gemuk dan skopnya terlalu luas. Menurut Anis kementerian tersebut dapat membelah diri menjadi dua kementerian, antara kementerian pendidikan dasar dan menengah, serta kementerian pendidikan tinggi.
Anis melanjutkan, orientasi pendidikan dasar juga harus difokuskan pada pendidikan karakter yang menanamkan dasar-dasar kehidupan yang logis. Apa yang dilontarkan Anis terkait dengan penilaiannya tentang lemahnya kurikulum pendidikan nasional saat ini.
Pendidikan tinggi juga tak luput dari kritik Anis. Menurut dia, di jenjang perkuliahan ini pemerintah harus dapat membuat cetak biru bahwa pendidikan tinggi bukan lagi soal kepribadian, dan tidak fokus pada obsesi memenuhi kebutuhan industri.
"Tapi (pendidikan tinggi) harus lebih ke fungsi utamanya. Selama ini konsepnya link and matcha hanya mereduksi untuk kebutuhan industri sementara civil society bukan kebutuhan," tandasnya.
Semua kesuksesan yang diklaim pemerintah dalam pembangunan pendidikan nasional sejatinya tidak mengaburkan kritik serta masukan yang datang dari sisi berbeda. Anggaran besar yang diamanatkan Undang-Undang harusnya dimanfaatkan dengan baik, agar kesuksesan lebih terasa dari sekadar data dan angka, atau hanya klaim sepihak di ujung masa jabatan presiden dan kabinetnya.
Sumber : http://edukasi.kompas.com
No comments:
Post a Comment