Ilustrasi |
Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Fitrah ialah mereka yang telah melakukan berbagai macam upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amalan Ramadhan.
Kata fithrah dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 20 kali dengan berbagai macam arti. Dalam kamus Lisan Arab, kamus bahasa Arab terlengkap (15 jilid), fitrah (fithrah) berasal dari akar kata fathara-yafthiru-fathran, berarti membelah, merobek, tumbuh, dan berbuka.
Dari akar kata itu lahir kata fithrah berarti sifat pembawaan sejak lahir, seperti dalam ayat, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS ar-Rum [30]: 30).
Namun, yang paling dominan dalam Alquran, fithrah berarti menciptakan, seperti, “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” (QS al-An'am [6]:79).
Kata fithrah juga berarti merusak, seperti, “Hampir saja langit itu pecah dari sebelah atasnya (karena kebesaran Tuhan) dan malaikat-malaikat bertasbih serta memuji Tuhannya dan memohonkan ampun bagi orang-orang yang ada di bumi. Ingatlah, bahwa sesungguhnya Allah Dia-lah Yang Mahapengampun lagi Mahapenyayang.” (QS as-Syura [42]:5).
Selain itu, fithrah juga berarti pecah, “Hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh.” (QS Maryam [19]:90).
Dari kata fathara, lahir kata idul fithr (Idul Fitri) yang berarti kembali berbuka atau makan setelah sebulan penuh berpuasa di siang hari Ramadhan. Bisa juga berarti id al-fithrah, kembali ke sifat bawaan kita sejak lahir, yaitu bersih dan suci, setelah sebulan penuh melewati penempaan dengan berbagai amalan Ramadhan.
Dari pengertian ini dipahami bahwa yang bisa kembali ke fitrah ialah mereka yang telah melakukan berbagai macam upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amalan Ramadhan, seperti puasa, zakat, tadarus Alquran, qiyamulail, iktikaf, dan berbagai amal sosial, seperti sedekah, silaturahim, memberi buka puasa, dan lain sebagainya.
Dalam tradisi Indonesia, semangat Idul Fitri, antara lain, mudik kembali ke kampung kelahiran, tempat kita lahir atau berasal. Di sana kita melakukan silaturahim dengan para keluarga. Mungkin, termasuk ziarah ke kuburan orang-orang terdekat kita, seperti orang tua dan sanak keluarga.
Dalam tradisi Indonesia, semangat Idul Fitri, antara lain, mudik kembali ke kampung kelahiran, tempat kita lahir atau berasal.
Di sana kita melakukan silaturahim dengan para keluarga. Mungkin, termasuk ziarah ke kuburan orang-orang terdekat kita, seperti orang tua dan sanak keluarga.
Kita juga bisa me-refresh dan me-rewind memori alam bawah sadar kita melalui sentuhan rasa yang lahir setelah kembali menyaksikan benda-benda monumental, seperti menengok atap rumah yang pernah menaungi kita saat kecil bersama orang tua dan seluruh saudara.
Kita juga bisa menyaksikan sekolah dasar dan masjid/mushala tempat pertama kali kita mulai belajar formal dan mengaji. Mungkin, masih ada lagi kenangan lain bisa muncul saat kita menyaksikan kampung halaman.
Misalnya, di dinding tengah rumah masih terpampan foto hitam putih saat kita masih kecil atau membuka-buka album keluarga yang sebagian orang di dalamnya sudah mendahului kita.
Sekaligus, juga bisa mencicipi kembali masakan dan jajanan yang pernah mengeraskan batok kepala kita saat masih kecil. Kolektif memori nostalgia bisa menjadi shock therapy buat kita untuk mengevaluasi jalan hidup yang selama ini kita pilih.
Mungkin, sebagian aktivitas kita di kota ada di antaranya yang tidak sejalan dengan pesan luhur orang tua dan kakek nenek yang dulu mewasiatkan untuk hidup luhur di jalan yang benar.
Syukur-syukur, kita bisa memugar sejumlah bangunan monumental secara emosional di kampung halaman kita, misalnya, mengganti tegel tua masjid atau mushala yang pertama kali kita tempati sujud dan mengenal Tuhan.
Atau, mungkin mengganti genteng rumah tempat yang pernah merekam kelahiran kita. Kesemuanya itu bisa memberikan kesegaran dan ketenangan hidup tersendiri setelah sekian lami kita hidup di tengah ketegangan kota.
Bukankah kehidupan awal nenek moyang kemanusiaan kita di surga, lalu jatuh ke bumi merupakan sebuah penderitaan?
Bukankah kehidupan awal kita di dalam tempat paling aman dan nyaman (qarar al-makin)? Bukankah Tuhan kita Maha Pengampun dan Maha Penerima Tobat, bersedia memaafkan seluruh dosa dan kekeliruan masa lampau kita?
Bukankah kita membutuhkan penyucian diri sebelum memasuki Padang Mahsyar? Bukankah kita sejak lama mengimajinasikan surga? Bukankah kita termasuk paling takut dengan Neraka Jahanam?
Jika demikian adanya, wajar jika setiap Idul Fitri kita merestorasi kembali tatanan jalan kehidupan. Dengan kata lain, momentum Idul Fitri bisa dimaknai sebagai 'reinkarnasi' kehidupan spiritual kita.
Dalam pandangan tasawuf, fitrah berarti kembali ke jati diri yang paling asli (original soul). Jika seseorang betul-betul bersih dan penyucian dirinya diterima Allah SWT, yang bersangkutan bisa membuka berbagai tabir yang selama ini menghijab dirinya berupa dosa dan maksiat.
Dengan momentum Idul Fitri, seseorang bisa mengalami penyingkapan (mukasyafah), yakni menembus batas-batas langit dan langsung bisa mi'raj menuju Tuhan. Ia mempunyai kemampuan untuk mengakses alam gaib, minimal alam barzah, yaitu perbatasan antara alam nyata dan alam gaib.
Orang yang diberi kesadaran mukasyafah bisa merasakan kedekatan diri dengan Tuhan dan para sahabat Tuhan, seperti Nabi Muhammad dan para orang saleh lainnya. Ia tidak pernah merasa kesepian karena memiliki berbagai sahabat spiritual yang terdiri dari bukan hanya orang hidup, melainkan juga dengan para kekasih Allah (auliya' dan syuhada') yang arwahnya sudah wafat.
Mereka bisa proaktif berkomunikasi dengan siapa pun, termasuk orang-orang yang masih hidup di dunia, sungguhpun sudah wafat, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat:
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS Yunus [10]:62-64).
Dalam ayat lain dikatakan: “Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS al-Baqarah [2]:154). “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (QS Ali 'Imran [3]:169).
Kehidupan sesudah mati yang biasa diistilahkan secara umum dengan 'reinkarnasi,' diisyaratkan kemungkinannya di dalam ayat-ayat tersebut di atas. Dengan demikian, kita dimungkinkan untuk melakukan “reinkarnasi” suasana batin yang sudah “mati”.
Dalam Alquran juga diisyaratkan kemungkinan kematian kalbu mendahului kematian jasad. Kematian kalbu diistilahkan dengan hati yang terkunci mati, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan, bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS al-Baqarah [2]:7).
Sebelum kematian kalbu, biasanya diawali dengan tumbuhnya penyakit kalbu, sebagaimana dinyatakan dalam ayat: “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS al-Baqarah [2]:10).
Tahajud
Tahajud adalah media utama para salik menuju puncak maqam. Orang-orang yang mampu kembali ke fitrahnya secara utuh, apalagi sudah meraih predikat bertakwa, dan terus dilanjutkan dengan olah spiritual secara konsisten, maka yang bersangkutan sudah mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya kapan saja dan di mana saja ia akan menemui dan menjumpai Tuhannya.
Apakah di dalam shalat atau di luar shalat, di tempat sepi atau tempat ramai, ia dapat merasakan perjumpaan dengan Tuhannya. Puncak-puncak perjumpaan (liqa') atau penyatuan mistik (ittihad/mystical union) sudah merupakan puncak pencarian para pencari Tuhan (salikin).
Sebelum sampai ke puncak ini, sering kali diawali dengan apa yang disebut dalam istilah tasawuf dengan fana', yaitu perasaan hancur atau hilangnya diri sendiri (disappear, perish, annihilate). Begitu dalamnya penghayatan seorang hamba terhadap Tuhannya, sehingga ia seperti dirinya hancur, hilang, dan lebur di dalam diri-Nya.
Penghancuran dan perasaan lenyapnya diri tersedot masuk ke dalam 'diri Tuhan' sering kali diiringi oleh suasana batin yang disebut dengan baqa', yakni suasana keabadian batin yang merasa terus hidup (remain, persevere). Ibarat sebuah mata uang yang memiliki dua sisi; fana' dan baqa' merasuk ke dalam diri seseorang.
Sumber : Dirangkum dari 4 artikel 'Reinkarnasi' Spiritual dimuat dalam www.republika.co.id
No comments:
Post a Comment